Perjalanan Pulang dari Bali ke Balikpapan, 16 Oktober 2022
bandara Ngurah Rai, Denpasar. Teman satu kamar, Pak Jumio terlihat tenang-tenang saja. Bahkan ia mengajak untuk jalan-jalan pagi ke pantai yang berada tidak jauh dari hotel tempat kami menginap. Namun, saya tidak bersedia dengan alasan kondisi perut saya masih kurang nyaman.
Kegiatan munas APSI (Asosiasi Pengawas Sekolah Indonesia) 13-16 Oktober berakhir. Sejak pagi hari Ahad, tanggal enam belas Oktober 2022 saya sudah bersiap-siap untuk berangkat keSarapan pagi masih disiapkan pihak hotel untuk kami. Batas keluar hotel (check out) maksimal pukul 12.00. Aturan itu berlaku umum untuk semua hotel Indonesia. Menu sarapan tidak jauh berbeda dengan menu-menu sebelumnya. Ada sate ayam dengan tusuk terbuat dari bambu yang dipotong pipih, bukan bulat. Suasana ruang makan cukup ramai. Para peserta munas rata-rata pulang ke daerah masing-masing pada hari ini.
Sebelum pulang, kami mendapatkan oleh-oleh dua sertifikat. Satu sertifikat berupa sertifikat sebagai peserta munas V APSI tanggal 13-16 Oktober 2022. Sebagai peserta, semua yang hadir tentu mendapatkan sertifikat ini sebagai bukti keikutsertaan dalam munas.
Selain sertifikat sebagai peserta munas, kami juga memperoleh sertifikat sebagai peserta seminar. Pada hari kedua munas, 14 Oktober 2022 diadakan seminar dengan mendatangkan pejabat kemendikbudristek. Tema seminar sangat menarik, yaitu "Transformasi Peran Pengawas Sekolah di Era Merdeka Belajar".
Selesai sarapan saya segera kembali ke kamar untuk menuntaskan persiapan pulang (check out). Barang-barang bawaan sudah saya rapikan. Ada dua tas punggung dan dua kardus kecil berisi oleh-oleh. Mengapa ada dua kardus? Karena ada dua tempat belanja berbeda, yaitu swalayan Agung Bali, dan swalayan Krisna. Saya merencanakan satu tas punggung yang agak besar akan saya bagasikan biar tidak ribet membawanya. Tas punggung yang keci yang berisi laptop akan saya gendong saja. Dua kardus kecil bisa saya tenteng dengan tangan kiri dan kanan.
pesawat, saya menelepon Bu Paulina Sandri dan Bu Hj. Sri Kamariah. Menurut ingatan, jam terbang adalah pukul 10.40. Faktanya? Saya cek dan ricek. Bu Hj. Sri Kamariah juga menyampaikan informasi bahwa jadwal terbang pukul 13.40. Saya pun kaget bercampur senang. Saya merasa senang karena waktu masih agak lama, jadi bisa berbaring-baring sebentar agar kondisi perut kembali membaik. Saya merasa kaget karena daya ingat sudah menurun! Rupanya jam terbang 10.40 adalah jam terbang saat berangkat dari Balikpapan ke Bali transit Surabaya.
Untuk memastikan jam keberangkatanMenjelang pukul sebelas, saya bergegas turun ke lobi. Pak Jumio sudah bersiap-siap pula untuk turun ke tempat berkumpul teman-teman yang akan ke bandara. Tiba di lobi saya melihat sudah banyak orang yang akan diantarkan dengan kendaraan dari pihak panitia. Saya lihat ada ketum terpilih, Pak Agus Sukoco.
Saya pun diajak berfoto oleh Pak Supriyanto, pengawas dari Kota Balikpapan. Pak Agus Sukoco mengambil posisi di tengah. Saya merasa terharu dapat berfoto dengan ketum APSI pusat. Kemarin-kemarin saat munas, banyak pengawas berebut ingin berfoto dengan beliau. Pagi ini, dalam situasi nonformal, saya baru mendapatkan kesempatan.
Cukup lama kami harus menunggu giliran diantar ke bandara. Saya sempat buang air kecil, mengambil foto (memotret) pada beberapa sisi yang menarik dari hotel. Pada seberang jalan (depan hotel), saya menemukan papan nama sebuah sekolah dasar. Jarak antara pintu masuk hotel dengan pintu gerbang sekolah sangat dekat. Berhubung hari Ahad, saya tidak dapat melihat anak-anak yang bersekolah di sana.
Giliran pengantaran pun tiba. Tas-tas, koper, kardus-kardus dan barang-barang bawaan dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Tidak banyak penumpang yang dapat diangkut karena ukuran mobil tidak terlalu besar. Pak Jumio dan satu pengawas lain terpaksa ikut mobil ukuran lebih kecil. Untung, kami masih bisa bersama-sama satu rombongan pengawas Penajam Paser Utara.
Suasana bandara cukup ramai. Saya tidak menyangka ruang untuk check in begitu luas. Saya bergegas mencari tempat untuk membungkus tas punggung yang agak besar. Sudah saya rencanakan, tas punggung berisi pakaian kotor itu akan saya bagasikan. Agar terjamin keamanannya, perlu dibungkus (wrapping). Biaya ternyata sudah naik. Sekarang menjadi tujuh puluh ribu rupiah. Demi keamanan isi tas, keluar uang sebanyak itu tentu tidak keberatan.
Setelah tas punggung saya selesai dibungkus (di-wrapping), segera saya susulkan ke troli yang didorong Pak Jumio. Antrean untuk memasukkan barang ke bagasi dan meminta "tiket" masuk ke pesawat memerlukan perjuangan. Sementara Pak Jumio mengantrekan bagasi, saya melihat-lihat sekitar ruang yang begitu luas itu. Papan data penerbangan adalah salah satu tempat yang saya cari. Saya harus memastikan jadwal penerbangan ke Balikpapan tidak mengalami perubahan.
Untuk mengetahui sudah sampai urutan ke berapa antrean, saya ikut merangsek pada sisi antrean. Untuk bukti teman-teman yang menunggu di belakang, saya memotret posisi Pak Jumio yang sedang berdiri di belakang troli. Pada sisi kiri dan kanan serta belakangnya, cukup padat antrean. Tinggal beberapa orang di depan Pak Jumio yang antre.
Ibu-ibu pengawas dengan sabar menunggu Pak Jumio mengantre. Bu Paulina Sandri, Bu Hj. Sri Kamariah, dan Bu Saiful Khasanah tidak banyak bercerita. Kelelahan selama beberapa hari di Pulau Bali rupanya mulai menyergap. Waktu yang kian siang, membuat perut mulai terasa lapar.
Setelah Pak Jumio selesai melakukan check in, boarding pass segera dibagikan sesuai nama yang tertera. Pintu masuk keberangkatan pun segera kami cari. Berhubung sudah lama tidak ke Denpasar, kami sudah lupa posisi pintu masuk untuk menuju ruang tunggu.
Satu tas ada di punggung dan ada dua kardus kecil saya tenteng dengan tangan kiri dan kanan. Proses untuk memasuki ruang tunggu ternyata cukup lama. Pemeriksaan tiket (boarding pass) sangat teliti. Petugas melihat KTP (Kartu Tanda Penduduk), tiket, dan meminta calon penumpang untuk membuka masker. Sebenarnya saya merasa kurang nyaman dengan model pemeriksaan seperti itu. Namun, apa boleh  buat. Aturan yang diberlakukan seperti itu.
Setelah pemeriksaan barang melalui X-Ray, kami baru sedikit merasa lega karena bisa melenggang menuju ruang tunggu. Namun, kami harus berjalan kaki agak jauh karena koridor dibuat berbelok-belok sehingga menjadi panjang jalan yang kami lalui menuju ruang tunggu.
Tiba di ruang tunggu, saya segera mencari makanan untuk pengganjal perut. Dari sekian macam model makanan, saya tertarik untuk membeli satu bungkus nasi kuning. Bungkus nasi kuning terbuat dari mika sehingga tampak isi di dalamnya. Berapa harga? Kita tidak dapat membandingkan harga di warung sebelah rumah dengan harga makanan di bandara. Ketika saya naik kapal feri dari Pelabuhan Kariangau di Balikpapan menuju Pelabuhan Penajam, harga satu bungkus mika nasi goreng hanya Rp 15.000 (lima belas ribu rupiah).
Setelah membeli satu bungkus nasi kuning, saya segera mendekati pintu (gate) untuk masuk ke pesawat tujuan Balikpapan. Ruang tunggu cukup padat. Kami tidak dapat tempat duduk. Saya mendekati petugas yang berjaga di dekat pintu. Saya ingin memastikan apakah benar, penumpang pesawat tujuan Balikpapan menunggu di tempat itu.
Petugas belum bisa memastikan karena pesawat yang akan segera berangkat adalah tujuan Jakarta. Tidak lama kemudian ada pengumuman yang menginfokan bahwa penumpang pesawat jurusan Balikpaan diminta menuju Gate 3. Saat itu saya berada di Gate 4, sesuai tulisan dalam tiket. Tanpa menunggu lama, saya bergegas berjalan cepat menuju Gate 3. Keringat mulai bercucuran lagi. Pada saat antre masuk ruang tunggu sebelumnya, saya sudah berkeringat. Sekarang harus berjalan cepat dengan menggendong tas dan menenteng dua kardus, bukan main rasanya.
Setelah melalui proses antre pemeriksaan tiket, berjalan kaki menuju pesawat, akhirnya tempat duduk sesuai nomor kursi saya dapatkan. Kaki saya benar-benar letih. Badan masih mengeluarkan keringat. Biasanya saat berada di dalam pesawat saya perlu memakai jaket agar tidak kedinginan. Kali ini tidak butuh. Badan terasa hangat. Apalagi posisi duduk di dekat jendela.
Tiga ibu pengawas berada di kursi deretan tepat di belakang kami sehingga saya dapat memotret mereka. Pak Jumio yang berada di samping saya tengah menunduk karena memegang gawai yang aktif. Usai mengambil gambar (memotret), pandangan mata saya segera saya arahkan keluar jendela. Saya dapat melihat pesawat yang agak jauh dari posisi parkir pesawat kami. Petugas yang sedang bekerja di bawah juga dapat saya lihat dengan jelas. Tulisan nama bandara juga sempat saya abadikan (dipotret)
Meskipun dari jarak jauh, papan nama bandara dapat saya foto. Ada tulisan dengan huruf bahasa daerah di atas tulisan dengan huruf latin. Kesibukan di siang hari itu terlihat dari dalam pesawat. Saya mengamati sambil mengira-ngira, apa yang sedang dilakukan oleh para petugas di bawah.
Setelah pesawat meninggalkan landasan, tanpa malu-malu saya mulai menyantap nasi kuning yang saya beli dengan harga Rp 46.000 (empat puluh enam ribu rupiah) satu bungkus mika. Pak Jumio saya tawari tidak mau karena memang hanya satu bungkus. Meskipun sebelumnya saya sudah makan satu bungkus roti pemberian ibu-ibu pengawas yang duduk pada deret di belakang kami, perut saya benar-benar masih terasa lapar.
Penerbangan berlangsung sesuai jadwal. Petugas dalam pesawat mengumumkan saat pesawat hampir mendarat di bandara Sepinggan, Balikpapan. Rasa hati benar-benar bahagia saat pesawat mendarat dengan mulus. Kami bergegas mengemasi barang-barang bawaan.
Saat-saat cukup menegangkan adalah ketika menunggu barang yang dibagasikan. Rasa was-was hadir. Pertanyaan 'apakah barang saya masih aman, apakah pembungkus masih baik, apakah barang tidak tercecer', selalu muncul ketika satu per satu tas, koper, dan kardus berjalan di depan kami melalui alat yang berputar berkeliling.
Setelah tas punggung yang di-wrapping saya dapatkan, segera kami keluar dari bandara. Sebelum meninggalkan bandara, saya membeli tiket angkutan taksi dari bandara menuju pelabuhan kapal klotok di Kapung Baru Tengah. Mobil sudah antre menunggu penumpang. Dua kardus kecil segera dimasukkan dalam bagasi mobil. Demikian pula satu tas pungung yang di-wrapping. Satu tas punggung yang semula menempel di punggung saya segera saya letakkan pada kursi taksi bagian tengah.
Saya duduk seorang diri dalam taksi itu. Empat teman pengawas lain menuju arah berbeda. Mereka akan menuju Pelabuhan Semayang sedangkan saya menuju Pelabuhan Kampung Baru Tengah. Saya memilih menggunakan kapal klotok menuju pelabuhan Penajam.
Kapal klotok nomor 22 yang saya naiki setelah turun dari taksi bandara. Penumpang langsung penuh. Saya lihat ada anak-anak berjualan kue. Saya panggil anak itu dan saya wawancarai. Pertama-tama saya tanya apakah anak itu bersekolah. Ia jawab bahwa sudah bersekolah kelas satu.
"Satu bungkus berapa harganya?" saya tanya harga kue bingka mini yang dijualnya selain jagung rebus.
"Lima ribu!"
"Kalau uang saya sepuluh ribu dapat berapa?"
"Dua!"
Anak itu dengan senyum gembira menerima uang yang saya berikan. Dua bungus kue bingka mini pun saya terima. Tidak lama kemudian kapal klotok pun meninggalkan pelabuhan  Kampung Baru Tengah.
Penajam Paser Utara, 25 Oktober 2022 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H