Bertambah pesatnya perkembangan bidang teknologi informasi yang telah ditandai percepatan teknologi smartphone semakin memanjakan para pengguna untuk kenyamanan berkomunikasi, saling bertukar informasi, mencari segala bentuk konten sesuai dengan selera atau apa saja yang menjadi keperluan atau kepentingannya.
Ditambah lagi belakangan ini telepon seluler/ponsel cerdas yang semakin dilengkapi fitur-fitur online baru dengan pilihan menu komplit semakin menjadikan para pengguna semakin enjoy dalam memperlakukan alat komuikasi canggih yang mereka miliki.
Kehadiran konten yang mencakup beragam informasi, mulai yang serius hingga yang bersifat hiburan dapat diakses secara online setiap saat, kapanpun dan dimanapun, selama jaringan yang tersedia mampu menjangkaunya. Dilihat dari jumlah maupun jenis konten yang tak terhingga, tidak keliru bilamana berselancar via fitur internet yang notabene semakin praktis dan nyaman tersebut ibaratnya masuk kedalam ‘lingkungan pasar umum’ dimana tersedia ‘barang berkualitas’ hingga barang yang ‘kurang/tidak berkualitas’ semuanya bisa secara mudah untuk diakses.
Dari sepintas kilas paparan diatas, kemudian dapat dipahami bahwa karateristik media online/internet bisa di-ibaratkan pisau, senjata, atau obat. Tinggal bagaimana manusia menggunakan, dan paling layak disorot adalah untuk apa tujuannya. Tinggal pilih mana, apakah untuk tujuan memperoleh manfaat, atau sebaliknya hanya mengundang mudharat.
Jika dilihat dari sejarahnya, awal mula internet digunakan untuk kepentingan jaringan computer di lembaga pertahanan Amerika, disusul untuk institusi pendidikan tinggi/universitas. Namun dalam perkembangannya , sejak tahun 1990 ketika Tim Berners Lee menemukan program editor dan browser yang bisa menjelajah antara satu komputer dengan komputer yang lainnya membentuk jaringan kemudian muncul program disebut www atau World Wide Web.
Jaringan yang kian bertambah dan saling tersambung terus merebak sehingga ada istilah surfing the internet , diawali virtual-shopping atau e-ritail muncul di internet dan dunia mulai berubah. Kini situs-situs semakin membludag tidak terbendung jumlahnya bak jamur dimusim hujan.
Tidak terkecuali konten-konten yang cenderung bersifat penipuan, kejahatan, bullying, pornografi, dan sebaran konten tak bertanggung jawab, semuanya sangat mudah diakses. Hadirnya gadget/smartphone dilengkapi dengan akselerasi teknologi telah memacu persaingan antar vendor menawarkan produknya. Di Indonesia, sebagai salah satu negara pengakses internet tergolong tinggi – maka produk smartphone yang terus terbarukan – cukup laris manis, bahkan tak pandang usia – tua muda – di hampir semua tempat memilikinya.
Celakanya, anak-anak yang berusia di bawah usia 13 tahun pun ber-gadgetria, mereka rame-rame membuat akun media sosial seperti facebook atau sejenisnya, bisa pula mengakses informasi lain yang tersebar luas di situs dunia online. Padahal menurut aturan yang direkomendasikan Children’s Online Privacy Protection Act (COPPA) tidak dibolehkan , ini berlaku secara internasional untuk situs web komersial dan layanan online yang diarahkan untuk anak di bawah 13 tahun.
Di Indonesia kondisinya memprihatinkan, anehnya lagi para orang tua/yang dituakan seolah/sepertinya malahan bangga jika putra-putrinya bisa mengopreasikan gadget berteknologi tinggi. Demi status sosial atau apalah, yang paling tampak kasat mata adalah kepemilikan gadget/smartphone ini lebih pada tujuan bergengsi ketimbang berfungsi.
Yang paling dikhawatirkan dan memprihatinkan dari gejala tersebut, merebaknya konten-konten yang sangat mudah diakses anak-anak yang belum cukup umur, belum bisa memilah dan memilih mana yang penting dan tidak penting sehingga luberan konten ‘berbahaya’ akan menerpanya. Termasuk gempuran pornografi online kini cenderung melanda anak-anak pengakses internet.
Kekhawatiran dan keprihatinan ini cukup beralasan. Asisten Deputi Kelembagaan Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Nasional Haliq Siddiq (11/4/2015) mengatakan, Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak yang mengakses situs porno. Data ini merupakan hasil survei yang dilakukan oleh Google sebagai situs penyedia data dan pencari ini, ternyata Indonesia berada diperingkat ketiga yang paling banyak mengakses situs porno dan diperingkat pertama adalah India.
Daerah yang paling besar pengakses situs porno adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), padahal kotanya berjuluk kota pelajar. Pihaknya meminta bantuan kepada pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informasi RI untuk memblokir situs-situs porno yang tersebar di dunia maya (sumber: http://m.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/04/12/nmozo8-duh-ri-peringkat-ketiga-pengakses-situs-porno).
Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara (3/5/2015) mengatakan, pihaknya telah memblokir lebih dari 800.000 situs porno. Meski begitu, masih saja terus bermunculan situs porno lainnya. Menurut Menkominfo, permasalahannya situs terkait pornografi yang diblokir ternyata akan muncul lagi menjadi situs pornografi lainnya. "Bila sekarang diblokir 100 situs maka besok dapat tumbuh 200 situs baru, begitu pula bila saat ini diblokir 500 situs maka bisa muncul 1.000 situs baru" (sumber: http://news.liputan6.com/read/2230845/menkominfo-blokir-800-ribu-situs-porno-tapi-bermunculan-lagi).
Dapat ditambahkan bahwa di tahun 2011, sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Yayasan Kita dan Buah Hati memperlihatkan bahwa 67 persen dari 2.818 siswa kelas 4-6 sekolah dasar di kawasan Jabodetabek sudah pernah menyaksikan materi pornografi lewat berbagai media. Sebanyak 24 persen di antaranya lewat komik, 18 persen melalui games, 16 persen lewat situs porno, 14 persen melalui film, dan sisanya melalui VCD dan DVD, telepon seluler, majalah dan Koran (sumber: http://www.detiknews.com/read/2011/03/01/084338/1581744/103/anak-dalam-lingkaran-pornografi?nd991107103).
Data penelitian tersebut dirilis 4 tahun yang lalu, kini bisa dibayangkan bersamaan merebaknya smartphone atau penggunaan Android yang lekat dengan kehidupan anak-anak maka akses terhadap konten porno di media online sangat memungkinkan dilakukan. Sungguh miris tentunya.
Melihat kondisi demikian, sebagai orang tua sangatlah wajar apabila penulis merasa cemas akan masa depan anak-anak kita. Kehadiran teknologi informasi dan komunikasi ternyata tidak hanya membuahkan dampak positif berupa bertambahnya wawasan/pengetahuan, tetapi sisi negatifnya tetap perlu diwaspadai jika kita menginginkan masa depan nak-anak menjadi lebih baik.
Berbagai langkah antisipasi yang selama ini telah banyak dilakukan memang perlu mendapat apresiasi. Blokir terhadap situs-situs pornografi untuk melindungi anak-anak yang dilakukan Kemkominfo patut kita hargai, demikian halnya upaya-upya dari kalangan yang perduli anak untuk menjauhkan anak dari terpaan konten ‘sampah’ tersebut perlu didukung.
Mengingat upaya-upaya pencegahan atau pengendalian terhadap konten pornografi online ini masih belum sepenuhnya dapat diandalkan, ada baiknya fokus perhatian lebih tertuju pada peran orang tua dan peran pendidik/guru dalam membimbing anak-anak. Baik dirumah atau disekolah dapat diajarkan tentang dampak-dampak kehadiran teknologi informasi dan komunikasi, bagaimana memanfaatkannya dan apa yang seharusnya dilakukan, serta apa yang seharusnya dihindari.
Pendekatan dalam pembelajaran dan pendidikan untuk mengantisipasi dampak negatif atas gempuran pornografi online ini - perlu dilakukan secara terus menerus berkelanjutan. Ini juga dikarenakan atau mengingat konten porno diproduk dan ditayangkan melalui media online semakin tak terhingga jumlahnya. Gempuran pornografi online ini menjadi musuh kita bersama yang harus diantisipasi sepanjang masa.
Blokir terhadap konten terlarang tersebut sudah dilakukan, sistem sensor melalui penyedia layanan internet atau ISP nampak kurang optimal dilakukan karena volumenya terus menerus bertambah. Dengan demikian, secara teknis tidak mungkin lagi untuk memblokir semua konten pornografi online.
Untuk itulah, dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa berbicara teknologi informasi dan komunikasi bukan saja mengenai produknya melulu, tetapi harus pula membicarakan dan membahas orangnya. Bagaimanapun juga, secanggih apapun teknologi yang dapat diakses dan dimiliki - tanpa dibarengi kualitas dan kesiapan para penggunanya, sama saja dengan memakai atau mempunyai barang berteknologi canggih tanpa mengetahui dan memahami fungsinya.
Suprapta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H