Mohon tunggu...
bambang haryanto
bambang haryanto Mohon Tunggu... -

Penulis dan blogger, pencetus Hari Suporter Nasional 12 Juli (2000)tercatat di Museum Rekor Indonesia. Impiannya untuk mengubah paradigma suporter sepakbola Indonesia yang anarkhis menjadi suporter yang atraktif memenangkan Honda The Power of Dreams Award 2002.Buku humor politiknya, Komedikus Erektus : Dagelan Republik Kacau Balau (Etera Imania,2010) baru saja terbit. Blog Suporter Indonesia : http://suporter.blogspot.com. Tinggal di Wonogiri.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

You May Say I’m a Dreamer

8 April 2010   04:50 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:55 263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

At first it was a dream.

Pada awalnya adalah sebuah impian.

Pada tanggal 6-8 April 2002, delapan tahun lalu, sejumlah "tukang mimpi" dari pelbagai penjuru Indonesia berkumpul di Jakarta. Mereka hadir untuk menceritakan mimpi mereka masing-masing dan caranya meraih impian itu. Mereka terjun mengikuti Honda The Power of Dreams Contest 2002.

Finalis kategori mahasiswa : Genia Sembada (Semarang), Glory Gracia Christabelle (Jakarta), Helena Rintha Sari (Yogyakarta), Yohana Florence Citra Palupi (Jakarta).

Untuk kategori tim : Adi Nugroho (ISI Yogyakarta), Agung Syakirul (ITS Surabaya), Andri Heru Pramono (PENS ITS Surabaya), Ardian Permana (Yogyakarta), Bambang Suryacahyana S. (Sukoharjo), Drajad Muktiwibowo S. (Sukoharjo), Dular Budi Jatmiko (Yogyakarta), Johannes Suharyono (ISI Yogyakarta), Muhammad Mustain (ITS Surabaya),

Kategori Umum : Bambang Haryanto (Wonogiri), Hari Martopo (ISI Yogyakarta), Junaidi Syam (ISI Yogyakarta), Maria DRT Ambesa (Depok), Nurudin Budiman, M.Sc. (Jakarta).

Suatu keajaiban, saya bisa berada di tengah para tukang mimpi tersebut. Saya membawa kanvas yang saya tulisi potongan lirik lagu "Imagine" (1971), "You may say I am a dreamer, but I'm not the only one. " Dengan senang hati, mereka telah ikut berbagi tanda tangan, berbagi tekad dalam mewujudkan impian.

Delapan tahun telah berlalu, saya mencoba lagi mencari mereka di dunia maya. Sungguh menggembirakan, saya menemukan Glory Gracia Christabelle yang memimpikan menjadi penulis fiksi anak-anak, dan kini ia telah meraih impiannya tersebut. Sedang Genia Sembada, penggemar Juventus dari Semarang ini, saat itu memimpikan memproduksi kaki palsu yang murah bagi penderita yang kakinya diamputasi. Hasil selisik saya yang mutakhir, ia justru menulis buku The Power of Nekad. Prestasi yang pantas dibanggakan.

Untuk pemenang lainnya (tercetak tebal), saya belum berhasil menemukan kabar-kabar terbarunya. Tetapi kenangan bersama mereka, juga saat melakukan presentasi di depan para juri yang terdiri Arswendo Atmowiloto, Kusnadi Budiman ("Nampak senang, ketika saya sebut Brasil sebagai tempat beliau lahir adalah kiblat suporter atraktif,"), Mien Uno ("Bu Mien menyukai esai saya"), Riri Riza, Satoshi Okamoto ("Ia memberi saya kaligrafi tulisan Jepang yang berarti, 'Semua Kawan'"), Susi Susanti ("Saat itu ditemani suaminya Alan Budikusuma, yang terkejut saat saya sampaikan ucapan selamat hari ulang tahun baginya di hari penjurian saya") semuanya masih segar tergambar dalam ingatan.

Tanggal 29 Juli 2002, film dokumentasi tentang profil para pemenang PODC 2002 itu ("saya menulis skrip, jadi bintang dan sekaligus pengisi suara sendiri :-)) telah ditayangkan di TransTV. Bagimana impian saya sendiri saat ini ? Di bawah ini adalah esai saya dalam mengikuti kontes tersebut.

The Power Of Dreams :

Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif

"Setiap insan memiliki mimpi, tujuan hidup atau aktivitas yang memberi mereka hidup yang memiliki makna mendalam dan mengobarkan gairahnya. Ketika kita sebagai manusia sedang berlari mengejar mimpi, kita merasa terberdayakan."

Kalimat indah dan bermakna dalam dari situs web Honda di atas, selain menunjukkan kedalaman fondasi semangat dan kekuatan inovasi sebagai perusahaan yang dibangun di atas mimpi, jelas merupakan ilham sekaligus panduan kokoh untuk setiap pribadi dalam memasuki abad baru saat ini. Termasuk diri saya pribadi yang sedang menguber mimpi untuk dibumikan menjadi realitas !

Sebagai seorang suporter sepakbola, mimpi besar itu adalah hadirnya pertandingan sepakbola yang aman, nyaman, bermutu, menggembirakan dan menggairahkan bagi pemain dan penonton. Juga menyejahterakan. Sebab selama ini pagelaran pertandingan sepakbola senantiasa beraroma perang. Petugas keamanan siaga dimana-mana. Lalu suporter sepakbola senantiasa terancam sebagai kambing hitam pelaku kerusuhan.

Stigma telah tergores bahwa suporter adalah himpunan orang-orang dungu, bermodalkan fanatisme sempit, dengan emosi bak genangan bensin yang mudah terbakar, kekanak-kanakan, agresif dan destruktif.

Mimpi itu pula yang pelan-pelan kini menyebar, mewarnai lanskap teater sepakbola di Indonesia. Kini panoramanya tidak lagi hanya maraknya tindak kekerasan suporter, tetapi tergurat warna pelangi yang menjanjikan dari aksi suporter bersangkutan. Dua tahun terakhir berhembus kuat kesadaran pada diri suporter sepakbola bahwa kehadiran mereka di stadion tidak lagi hanya sebagai penonton, tetapi pantas tampil sebagai pemain terhormat dari suatu totalitas pagelaran teater sepakbola.

Matador dan Konser. Dengan mengambil tamsil pagelaran adu banteng di Spanyol, banteng dan matador adalah ibarat dua kubu tim sepakbola yang bertanding. Para pemain sepakbola merupakan aktor utama. Sementara penonton tetaplah berstatus sebagai penonton. Mereka bukanlah pemain. Tetapi di Spanyol juga dikenal atraksi massal, tidak kalah sensasional, yang melibatkan banteng dan massa. Uniknya disini, massa tidak hanya berstatus sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain.

Novelis Sidney Sheldon dalam novel indah dan menegangkan, The Sands of Time, secara memikat menggambarkan operasi pembebasan pentolan gerilyawan separatis Basque dari penjara Spanyol dengan latar belakang adegan pacuan massa dengan banteng "gila" ini. Pembaca disodori panorama eksotis berbau darah, kematian dan juga ruap gairah hidup, saat gemuruh massa dibalut rasa gembira bercampur ngeri, ramai-ramai berlarian di gang-gang sempit kota Pamplona sambil merecoki, menggoda, sekaligus menghindari amukan banteng ganas yang siap menginjak atau menyeruduknya secara buas.

Teater adu banteng di Pamplona ini rasanya klop sebagai presentasi roh teater sepakbola kontemporer, utamanya tren yang menggelombang dan sedang mencari bentuknya yang terbaik di Tanah Air dewasa ini. Penonton, juga suporter, yang dulu hanya duduk manis di bangku-bangku stadion, kini bangkit sebagai aktor yang ikut bermain.

Pada pelbagai kota sepakbola di Tanah Air seperti kota Solo, Jakarta, Malang, Bandung, Makassar, Surabaya, Semarang, Sleman, Tangerang, Gresik dan Medan, kini mewabah tren suporter sepakbola membentuk organisasi untuk tampil sebagai sosok entertainer, penghibur, dalam konser sepakbola.

Secara atraktif kerumunan massa itu kompak meneriakkan yel-yel, melakukan koor, juga menampilkan koreografi yang gigantik. Akibatnya perbedaan status sebagai entertainer, antara pemain sepakbola dan suporter, kini tak lagi kontras. Keduanya berbaur, saling berdialog, guna "membakar" atmosfir pertandingan sepakbola sehingga menjadi tontonan yang benar-benar menggairahkan. Atensi publik yang semula menjadi privilege pemain, kini sebagiannya terenggut oleh aksi suporter yang melakukan konser di pinggir lapangan secara signifikan !

Semangat Olimpiade. Paradigma baru ini membuka harapan baru, sebagai salah satu antidote, penangkal, bagi rentannya sepakbola dengan aksi-aksi rusuh suporter. Peningkatan status suporter dari sekadar properti menjadi aktor harus disadari merupakan outlet, penyaluran, yang sehat dan rasional guna mensubstitusi fokus perhatian suporter yang mudah meledak terpicu oleh perolehan skor akhir, atau status kalah-menang dari tim yang didukungnya.

Pemikiran ini bukankah sejalan dengan nilai-nilai yang dipromosikan oleh gerakan Olimpiade, bahwa partisipasi itu lebih penting dibandingkan dengan kemenangan ?

Para suporter dalam status sebagai entertainer pada langkah berikutnya didorong agar bertanggung jawab secara profesional terhadap kualitas konsernya. Sedang kalah atau menang, itu urusan profesional tim kesebelasan bersangkutan.

Dalam konteks ini kelompok suporter harus terus memacu kreativitas, hingga suguhan konsernya menghibur, tak kalah sensasional dari pertandingan sepakbolanya. Mereka juga harus terampil menjual diri sehingga mampu merenggut atensi dan liputan media !

Mimpi Berubah MURI. Mimpi besar di atas saya rintis sebagai realitas saat berkiprah sebagai Menteri Media & Komunikasi, lalu Menko Bina Citra, dalam kelompok suporter asal Solo, Pasoepati (Saat itu merupakan akronim dari "Pasukan Suporter Pelita Sejati") Tahun 2000-2001.

Seperti Croquette Sonia bilang, "Your own words are the bricks and mortar of the dreams you want to realize. Your words are the greatest power you have. The words you choose and use establish the life you experience", maka kata-katalah yang menjadi senjata saya untuk mewujudkan mimpi.

Saya menulis artikel, siaran pers dan radio, teks iklan, teks spanduk, merancang slogan, membangun isi situs web (www.pasoepati.or.id) untuk menjual gagasan dan konsep-konsep Pasoepati. Pers lokal dan nasional, berebutan mendaulat Pasoepati sebagai kelompok suporter cinta damai, anti tindak kekerasan, kaya kreativitas, sehingga menjadi kiblat organisasi suporter dari kota lain di Indonesia. Pasoepati bahkan berhasil membidani lahirnya kelompok suporter The Macz Man (Makassar, 2000) dan Asykar Teking (Pekanbaru, 2001).

Di forum nasional, saat berlangsungnya acara temu antar organisasi suporter sepakbola di Jakarta,12 Juli 2000, di kantor Tabloid BOLA, saya mencetuskan hari itu sebagai Hari Suporter Nasional. Ide ini mendapat dukungan secara nasional. Prestasi itu membuat saya tercatat sebagai Pemegang Rekor Indonesia sebagai Pencetus Hari Suporter Nasional pada Museum Rekor Indonesia (MURI).

Kemudian terilhami oleh organisasi suporter FSA (Football Supporter's Association) dari Inggris, gagasan itu memperoleh momentum puncak pada tanggal 11-12 Agustus 2001, saat memperingati Hari Suporter Nasional I di Jakarta. Suporter Indonesia kemudian memiliki organisasi payung bernama ASSI (Asosiasi Suporter Sepakbola Indonesia). Bahkan, pada tanggal 10 Oktober 2001, saya ditunjuk untuk memikul tugas berat ASSI sebagai Sekretaris Jenderal ASSI.

Mimpi yang menjadi kenyataan pasti memicu lahirnya mimpi-mimpi baru lagi. Walau masih banyak hadangan dan problem berat dalam menyempurnakan mimpi-mimpi indah tentang suporter sepakbola Indonesia di masa depan, tetapi sebagaimana Theodore Roethke bilang, "What we need is more people who specialize in the impossible", maka saya kini merasa bangga sebagai sosok suporter Indonesia yang berani terjun berspesialisasi dalam ketidakmungkinan itu sendiri. Dengan diilhami semangatnya Honda : senantiasa bermodalkan kekuatan impian !

Impian indah saya di atas, hari ini, belum menjadi kenyataan.

Wonogiri, 8 April 2010

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun