Revolusi Mengubah Budaya Suporter Sepakbola Yang Destruktif Menjadi Penghibur Kolosal Yang Atraktif
"Setiap insan memiliki mimpi, tujuan hidup atau aktivitas yang memberi mereka hidup yang memiliki makna mendalam dan mengobarkan gairahnya. Ketika kita sebagai manusia sedang berlari mengejar mimpi, kita merasa terberdayakan."
Kalimat indah dan bermakna dalam dari situs web Honda di atas, selain menunjukkan kedalaman fondasi semangat dan kekuatan inovasi sebagai perusahaan yang dibangun di atas mimpi, jelas merupakan ilham sekaligus panduan kokoh untuk setiap pribadi dalam memasuki abad baru saat ini. Termasuk diri saya pribadi yang sedang menguber mimpi untuk dibumikan menjadi realitas !
Sebagai seorang suporter sepakbola, mimpi besar itu adalah hadirnya pertandingan sepakbola yang aman, nyaman, bermutu, menggembirakan dan menggairahkan bagi pemain dan penonton. Juga menyejahterakan. Sebab selama ini pagelaran pertandingan sepakbola senantiasa beraroma perang. Petugas keamanan siaga dimana-mana. Lalu suporter sepakbola senantiasa terancam sebagai kambing hitam pelaku kerusuhan.
Stigma telah tergores bahwa suporter adalah himpunan orang-orang dungu, bermodalkan fanatisme sempit, dengan emosi bak genangan bensin yang mudah terbakar, kekanak-kanakan, agresif dan destruktif.
Mimpi itu pula yang pelan-pelan kini menyebar, mewarnai lanskap teater sepakbola di Indonesia. Kini panoramanya tidak lagi hanya maraknya tindak kekerasan suporter, tetapi tergurat warna pelangi yang menjanjikan dari aksi suporter bersangkutan. Dua tahun terakhir berhembus kuat kesadaran pada diri suporter sepakbola bahwa kehadiran mereka di stadion tidak lagi hanya sebagai penonton, tetapi pantas tampil sebagai pemain terhormat dari suatu totalitas pagelaran teater sepakbola.
Matador dan Konser. Dengan mengambil tamsil pagelaran adu banteng di Spanyol, banteng dan matador adalah ibarat dua kubu tim sepakbola yang bertanding. Para pemain sepakbola merupakan aktor utama. Sementara penonton tetaplah berstatus sebagai penonton. Mereka bukanlah pemain. Tetapi di Spanyol juga dikenal atraksi massal, tidak kalah sensasional, yang melibatkan banteng dan massa. Uniknya disini, massa tidak hanya berstatus sebagai penonton, melainkan juga sebagai pemain.
Novelis Sidney Sheldon dalam novel indah dan menegangkan, The Sands of Time, secara memikat menggambarkan operasi pembebasan pentolan gerilyawan separatis Basque dari penjara Spanyol dengan latar belakang adegan pacuan massa dengan banteng "gila" ini. Pembaca disodori panorama eksotis berbau darah, kematian dan juga ruap gairah hidup, saat gemuruh massa dibalut rasa gembira bercampur ngeri, ramai-ramai berlarian di gang-gang sempit kota Pamplona sambil merecoki, menggoda, sekaligus menghindari amukan banteng ganas yang siap menginjak atau menyeruduknya secara buas.
Teater adu banteng di Pamplona ini rasanya klop sebagai presentasi roh teater sepakbola kontemporer, utamanya tren yang menggelombang dan sedang mencari bentuknya yang terbaik di Tanah Air dewasa ini. Penonton, juga suporter, yang dulu hanya duduk manis di bangku-bangku stadion, kini bangkit sebagai aktor yang ikut bermain.
Pada pelbagai kota sepakbola di Tanah Air seperti kota Solo, Jakarta, Malang, Bandung, Makassar, Surabaya, Semarang, Sleman, Tangerang, Gresik dan Medan, kini mewabah tren suporter sepakbola membentuk organisasi untuk tampil sebagai sosok entertainer, penghibur, dalam konser sepakbola.
Secara atraktif kerumunan massa itu kompak meneriakkan yel-yel, melakukan koor, juga menampilkan koreografi yang gigantik. Akibatnya perbedaan status sebagai entertainer, antara pemain sepakbola dan suporter, kini tak lagi kontras. Keduanya berbaur, saling berdialog, guna "membakar" atmosfir pertandingan sepakbola sehingga menjadi tontonan yang benar-benar menggairahkan. Atensi publik yang semula menjadi privilege pemain, kini sebagiannya terenggut oleh aksi suporter yang melakukan konser di pinggir lapangan secara signifikan !