Dalam pendakian gunung Seminung pada tahun 1980 itu penulis merasa tertantang dan mengalami kesedihan. Mengapa? Karena  ada anggota baru yang beragama X kesurupan sewaktu mendaki gunung siang harinya. Menurut tetua setempat, itu terjadi karena gunung seminung adalah tempat para ulama masa lalu melakukan perhimpunan. Jadi kalau ada orang bergama lain akan mengalami kesurupan seperti itu.
Setelah mengalami error beberapa jam yang bersanglutan siuman. Saya sebagai ketua rombongan sempat panik. Tetapi meyakini bahwa itu terjadi sebagai ujian ketegaran keimanan kita kepada Allah Yang Maha Esa.
Pengabdian kepada masyarakat
Esok harinya kami meelakukan pengabdian kepada masyarakat setempat yang kebanyakan adalah petani kopi. Kami yang kebanyakan adalah mahasiswa Fakultas Pertanian itu memberikan penyuluhan tentang budidaya kopi, mulai dari perbaikan kesuburan tanah, pemberantasan hama dan penyakit, panen dan pasca panen serta pengendalian gulma.
Sebagai mahasiswa ketika langsung bercengkerama di kebun kopi milik masyarakat kami sangat senang dan puas rasanya. Terkadang di antara kami ada yang belum tahu seperti apa kopi, padi, dan sejumlah tanaman pertanian. Dengan langsung terjun ke desa maka ilmu pertanian kami sangat baik. Penulis sendiri yang berasal dari keluarga petani tentu tidak canggung dalam memberikan penyuluhan tentang budidaya tanaman kopi, padi sawah atau lainnya.
Pelajaran dari mendaki gunung
Banyak sekali pelajaran yang baik dikenang ketika mendaki gunung seminung kala itu. Pertama, mendaki gunung dalam rombongan besar terasa senang dan mudah walau medan berat. Dari desa kota batu kami harus berjalan 7 km lebih untuk menuju puncak. Kedua, dalam mendaki gunung itu ada risiko yang harus kami kelola bersama yakni ada yang kesurupan, ada yang sakit dan lain-lain. Mengelola risiko mesti dilakukan dengan sabar dan dengan keberaamaan bahkan dwngan doa. Ketiga, dalam pendakian gunung tidak bisa dilakukan sikap sombong tetapi dengan rendah hati. Keempat, setelah berjuang keras dan dengan penuh kesabaran maka tibalah kami di puncak tertinggi. Ternyata masih banyak puncak-puncak gunung yang lebih tinggi. Karena itu jangan pernah menyombongkan diri.Â
Kelima, menaklukan gunung dengan mendakinya secara bersama adalah bagian untuk mengenali diri sendiri, betapa diri ini "sangat kecil" dibandingkan gunung, dibandingkan langit, dibandingkan danau, dibandingkan malaikat dsb. Karena itu tidak ada yang pantas disombongkan. Maha Besar Engkau ya Allah. Maha Sempurna Engkau. Hamba hanyalah makhluk kecil yang sering tak tahu diri. Tak tahu balas budi.Â
Jayalah kita semua.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI