Pada fase awal Isman mengajak goyong royong penduduk Lubuk Langkap menggali tanah untui pondasi dan mengumpulkan pasir. Pendudul antusias sebagaimana terlihat dalam gambar yang mereka posting dan juga melalui telepon dengan Sukardi, pemuka masyarakat Lubuk Langkap.
Jalan ini punya banyak kenangan bagi penulis karena merupakan jalan menuju sungai untuk mandi. Melalui jalan ini juga penulis pergi ke sawah atau juga waktu pergi ke kebun. Melalui jalan ini juga penulis bersama kakek, paman, ayah pergi mencari ikan kala musim libur yang disebut dengan "bekarang".Â
Melalui jalan ini juga penulis pergi pulang dari perantauan tepatnya waktu penulis kuliah di Universitas Sriwijaya. Ada sejumlah alasan memgapa penulis sering memilih berjalan kaki sat kuliah. Pertama, uang pemberian orangtua jumlahnya terbatas. Maklum zaman itu ayah hanyalah perani kopi dan padi. Â Harga jual kopi sangat murah setelah saya kuliah. Sewaktu sekolah di SMP dan SMA harga kopi sempat tinggi.
Kedua, penulis mudah atau selalu mengalami mabok di atas kendaraan seperti bis, yang berjarak jauh. Berjalan kaki dari Lubuk Langkap ke Pulau Timun yang berjarak 45 km lebih penulis sukai dibanding naik bis dari Palak Bengkerung Manna Bengkulu dan Pagar Alam.Â
Setelah beberapa dasa warsa penulis bersyukur karena berhasil mengajak banyak orang untuk bergotong royong membuayai pembangunan musholla yang disebut dengan "Mushola Lubuk Langkap Darussalam". Niat dari pembangunan musholla ini adalah sebagai wadah bagi semua donatur untuk berwakaf membangun Rumah Allah. Diyakini banyak turis akan menggunakan fasilitas rumah ibadah ini. Semoga menjadi amal jariyah bagi kita semua. Termasuk para pembaca semua.
Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H