Pertama, kita melihat kepada mereka yang memperoleh musibah yang lebih berat dan lebih besar. Jika kita kita diberi musibah sakit. Maka lihatlah mereka yang lebih beratnya dari kita. Kita masih bisa berayukur. Alhamdulilah sakit kita lebih ringan dibandingkan si fulan atau fulana. Masyaa allah, terima kasih ya Allah.Â
Kedua, jika kita mau merenung sebentar bahwa musibah itu adakah kasih sayang Allah kepada kita. Saya pernah mau berangkat ke Surabaya pada tahun 2005. Sehabis shalat zuhur saya patah kaki sepulang dari masjid. Anak saya ingin membonceng saya. Ternyata Allah berika  hadiah yakni motor kami tabrakan. Saya tertimpa anak, motor dan 3 anak remaja yang sedang "mengukur" jalan komplek kami. Kaki kanan saya patah. Gagal berangkat padahal sudah siap semua tiket dan semuanya. Saya mensyukuri musibah itu karena bisa mengurangi dosa mata, dosa telinga dan hati saya. Dengan gagal berangkat maka ada rem untuk saya untuk mengurangi kenakalan orang tua. Maklum sebagai pejabat dan ada uang ditangan.Â
Ketiga, mensyukuri musibah merupakan waktu yang baik untuk merenungkan dan meminta ampun kepada Allah atas banyak dosa kita sebagai manusia.Â
Keempat, mensyukuri musibah karena dibalik musibah pasti banyak hikmah. Jika kita marah kepada anak kita dan anak kita sabar maka pasti kita akan menawarkan kebaikan kepada anak kita. Nak kau nak beli apa? Allah lebih baik dari itu memperlakukan orang yang sabar jika ditimpa musibah.
Demikian kupasan kita saat ini tentang mensyukuri musibah. Terima kasih karena anda sudah membaca. Jayalah kita semua.Â
Palembang, 11.9.2020Â
Alfakir,Â
Supli Effendi Rahim
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H