Ayah mendidik kami hanya dengan cerita atau mengenalkan orang lain. Beliau memuji orang itu. Membanggakan orang itu. Dari situ kita anaknya ter-install motivasi agar nanti bisa seperti orang yang dibanggakan ayah tersebut.Â
Ketika suatu saat ayah mengajak saya waktu itu masih SMP atau SMA ke pertanaman durian milik kakek kami, beliau membawa bibit cengkih. Bibitnya bagus. Tetapi ditanam di bawah pohon besar. Waktu itu dia berpesan agar "besar kamu ya. Hasilmu untuk saya pergi haji."
Untuk guru berhitung dan berfikir saya diajari melalui jalan kaki dalam perjalanan tanpa rasa dengan ibu saya. Mengapa tanpa rasa? Karena sepanjang jalan dari palak bengkerung kenpalak padang "dijeliti dan dikabaki" oleh anak seumur saya. Tentu saya akan menghitung  berapa desa yang sudah dilewati dan di mana yang banyak "membully" saya pulang dan pergi. Belum lagi kepala dan leher harus mengalami gangguan sampai saya dewasa.Â
Saya tidak menyesali apa yang terjadi dengan masa kecil saya karena saya sampai sekarang belum mampu membalas jasa orang tua, kakek nenek, paman bibi dan tetangga saya. Karena mereka punya peran dalam "mencetak" menjadi "bata" yang siap menjadi bahan bangunan keluarga, wilayah dan bangsa.Â
Sejak itu saya terkenang bagaimana mengupayakan ayah ibuku naik haji. Tapi apa daya. Pada tahun 2005 ayah dan ibu hanya bisa saya umrohkan pada bulan ramadhan saja. Ibu saya ajak lagi umroh tahun 2015 bersama keluargaku, anak anak dan cucu. Ayah dipanggil Allah pada tahun 2010 belum sempat dihajikan. Sementara ibu didaftarkan haji pada tahun 2012 tetapi sampai sekarang belum berangkat. Rabbighfirlana zunubana warhamna wali wali dayya.Â
Demikian makna judul.."lihat cengkih teringat ayah".
 Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H