Pada saat itu tidak ada kebakaran lahan dan hutan yang tidak terkendali seperti pada kejadian karhutla yang banyak terjadi di pedalaman pulau Kalimantan dan Sumatera. Seingat saya pembakaran lahan dan hutan oleh kakek atau ayah saya sangat terkendali.
Pada masanya saya juga pernah membakar lahan milik sendiri. Lahan yang mempunyai luasan 2 ha itu ditebas terlebih dahulu. Kami terlebih dahulu melakukan acara bersih-bersih pada lahan yang berbatasan dengan lahan milik tetangga. Gunanya untuk menghindarkan pembakaran tanpa kendali yang dapat menghanguskan kebun milik tetangga. Setelah siap, tukang kebun saya perintah untuk membakar lahan dengan hati-hati. Tugas saya adalah melaungkan azan pada sisi lahan milik tetangga. Selama 3,5 jam api membakar lahan yang ditebas dan ditebang terlebih dahulu. Tentu setelah kering. Alhamdulilah, api tidak mengganggu atau membakar lahan milik tetangga.Â
Membakar lahan dan hutan dengan bijak
Sejak lama, orang desa membakar lahan dan hutan dengan bijak. Tentu luasannya terbatas. Tidak untuk memperkaya diri. Mereka membuka lahan hanya untuk bertahan hidup. Persoalan timbul ketika para pengusaha dalam dan luar negeri datang untuk membuka lahan ratusan ribu bahkan jutaan hektar. Di atas kertas mereka berjanji pada dokumen Amdal akan membuka lahan dengan alat berat. Dalam krnyataan mereka hanya membuka 10 hingga 200 ha yang menggunakan alat berat. Setelah itu mereka akan meminta bantuan prnduduk setempat untuk membakar ribuan hektar dengan menggunakan api. Jadilah api tidak terkendali. Semua dibakarnya. Kebun dan hutan ikut terbakar. Itulah yang sering terjadi.
Ke depan hukum harus dijadikan panglima. Pembakar lahan dan hutan harus di "bakar" juga. Â Beranikah kita? Kita di sini adalah rakyat dan pemerintah.
Jayalah negeriku. Jayalah kita semua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H