Teman teman Fulan banyak juga yang akhirnya menjual ke tengkulak.
" Tuh si Acep juga jualnya ke saya, dari pada udah dipetik dibawa ke Jakarta di jalan nanti disuruh putar balik, rugi ongkos rugi tenaga mau dikemanain ntar sayurannya?" Ujar tengkulak kepada Fulan.
Fulan memilih bersabar.
"Nanti saya diskusi dulu sama orang rumah", Fulan berdiplomasi".
" Ya , terserah jangan lama lama ya, ntar keburu kehabisan duit saya sama yang lain". Tengkulak pakai jurus pamungkas.
"Ditunggu sampai seminggu sebelum lebaran aja pak siapa tau ada perubahan peraturan", nasihat istrinya.
Tiba sepekan sebelum hari raya, keadaan tak kunjung  membaik, harga sayur jungkir balik.
Betapa sedihnya Fulan.
Selepas shalat subuh, Fulan pergi ke kebun.
Sepanjang jalan Fulan terus bershalawat kepada Nabi Muhammad. Allahuma shaliala muhammad.
Tiba di kebun, Fulan melepaskan pandangan ke hamparan sayur yang subur, segar dan menghijau. Butiran airmata menetes membasahi pipinya, disentuhnya daun daun sawi itu lembut seraya, berdoa kepada Allah swt.
"Ya Allah, Engkau menjadi saksi hamba sudah maksimal ikhtiar, mohon berikan hamba ampunan dan rahmatMu. Jika sekiranya dosa- dosa hamba menjadi penghalang datangnya rezeki mu ampuni lah hambaMu ini ya Allaah. Berikanlah kami rahmatMu petunjuk agar kami tak salah langkah. Ya Allah, beri hamba kekuatan dan ketenangan menghadapi takdir ini. Hamba percaya tak ada yang sia-sia atas segala ciptaanMu." Doa Fulan pagi itu diantara hamparan kebun sayur miliknya.
Sesekali dia melirik handphone miliknya. Dilihatnya berita dari handphone, kabar tentang betapa banyak orang yang tak punya meski hanya untuk sekedar makan. Mereka tak mampu beli lauk atau sayur. Padahal biasanya mungkin merekalah konsumen petani selama ini.