Bisimillah,
Malaysia merupakan negara jiran yang menarik untuk dibahas.  Politiknya tak jauh berbeda dengan politik Indonesia. Perseteruan di antara para politisi itu biasa. Tidak ada pertemanan yang abadi. Tidak ada juga permusuhan yang abadi. Yang  lazim adalah kepentingan dapat menjadikan mereka berseteru.
PerseteruanÂ
Pengamat politik susah menebak para politisi Malaysia ini. Awalnya publik bersimpati dan berempati kepada Dr M karena bisa menumbangkan perdana menteri "terkuat" pada abad ini yakni Najib Abdur Razak. Beliau adalah putra perdana menteri Tun Abdur Razak. Beliau adalah orang kuat UMNO.Â
Tun M memang hebat. Berkoalisi dengan PKR pimpinan Wan Azizah Ismail, istri datuk Anwar Ibrahim, Tun M dapat memenangkan pilihan raya tahun 2018. Berjanji untuk menyerahkan kursi PM kepada datuk Anwar Tun M mudah memenangkan kursi PM masa itu.
Publik Boleh Kecewa
Saya adalah orang luar yang merasa kecewa dengan teepilihnya PM baru yakni Muhyidin, bekas Menteri Pendidikan Malaysia. Mengapa? Karena Muhyidin bukanlah pemenang pilihan raya koalisi partai pakatan harapan yang diketuai oleh Tun M.
Saya tak ada hak untuk kecewa. Toh Malaysia bukan negara saya. Tapi kami publik luar negara Malaysia berhak menilai dan berpendapat bahwa janji Tun M akan memberikan kursi PM datuk Anwar setelah Tun M lengser mesti ditepati. Kita sesama muslim adalah bersaudara. Kenyatannya Datuk M langsung menyerahkan kursi PM kepada Agong. Ini suatu hal yang tidak biasa bagi kami rakyat luar yang tak paham politik Malaysia.
Tetap kekal sebagai Pembangkang
Saya bilang kepada teman bahwa saya sayang pada Malaysia, karena tiga tahun bertugas di sana swbagai doaen. Maafkan saya jika saya tertarik unruk banyak tahu tentang Malaysia. Tiga tahun berada di sana cukup membuat saya berempati dan bersimpati kepada Malaysia jika ada yang baik atau tak baik terjadi di sana.