Bismillah, Alhamdulillah, Allahumma shaliala Muhammad
Pagi ini saya seorang tamatan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah di desa terpencil di ujung selatan pulau Sumatera tersentak dengan kisah guru Siti Komariah. Saya membaca ini dari kumparan.com.
Dalam hati saya menangis. Seburam inikah pendidikan anak bangsa di negeriku? Mengapa hanya digaji Rp 500 ribu sebulan? Dari bahan apakah hatimu sehingga begitu tabah terbukti sudah mengajar 6 kelas sejak 9 tahun yang lalu? Tidak adakah skim yang tersedia agar murid-murid yang kau ajar bisa membayar SPP? Â Mana pemerintah di wilayahmu? Tulisan ini mencoba mempertanyakan dan memaparkan jawabannya.
Tetapi ketika membaca kisah guru Siti Komariah yang hanya tamatan SMA mengajar di SD Muhammadiyah Filial 4 di Jalur, wilayah perairan Banyuasin. Hatiku hancur berkeping keping. Air mataku keluar. Dadaku sesak. Aku memaki diriku sendiri. Supli, mana mata hatimu? Mana kehebatanmu.
Lihatlah guru Siti Komariah. Hanya dibayar Rp 500 ribu per bulan. Itupun dibayar tiga bulan sekali. Muridnya dari kelas 1 sampai kelas 6. Ruangan kelas tidak ada penyekat. Mengajar dengan ngomong karena tidak ada pen marker. Walau ada board marker.
Mendengar dan menyimak serta mencermati keadaan ruang kelas, memperhatikan peta melalui google earth di mana sekolah SDM itu maka saya mengajak kita semua untuk merenung sejenak.
Pertama, beginikah potret kebanyakan sekolah di wilayah terpencil. Jika iya apa saja yang kita sudah lakukan selama ini dalam mewujudkan tujuan pendirian negara?
Kedua, kenapa orang-orang seperti Siti Komariah tidak diberi perhatian khusus.. pendapatannya, kondisi rumah tangganya, kondisi kesehatannya dan sebagainya.
Ketiga, apakah label Muhammadiyah menjadikan kita lupa bahwa tanggungjawab pendidikan bukan tanggungjawab organisasi keagamaan itu saja tetapi tanggung jawab kita semua. Ingin bertanya mana camat, mana kepala desa, mana dinas pendidikan dan kepala.daerahnya.
Keempat, tidakkah kita merasa bersalah dan berdosa kepada Tuhan pencipta kita karena membiarkan guru tanpa gaji yang memadai, sedangkan bebannya sungguh berat, sedangkan kemudahan sedikit, sedangkan infrastrukturnya tidak atau bahkan jauh dari memadai.
Kelima, mana rasa malu kita kepada guru Siti Komariah di SDM Jalur Banyuasin di mana kita memperoleh gaji besar, fasilitas memadai, pendidikan tinggi, dekat dengan segala pusat, rumah bagus, mobil bagus tetapi masih mengeluh. Saya teringat dengan seorang anggota DPRD di suatu wilayah mengeluhkan gajinya hanya Rp 111 juta per bulan. Beliau mesti belajar kepada buk guru Siti Komariah yang gajinya hanya Rp 1,5 juta per tiga bulan.Â
Demikian tulisan pagi ini tentang manusia berhati emas yang masih banyak di sekitar kita. Mari kita perbaiki hati kita dan amal kita bukan wajah dan aksesoris. Wahai buk guru Siti Komariah, dikau adalah pahlawan bangsa kita karena sudah bisa mempermalukan orang yang tamak, sombong dan salah kaprah dalam hidup seperti penulis tulisan ini.
Semoga sadarlah kita semua.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H