Mohon tunggu...
Supli EffendiRahim
Supli EffendiRahim Mohon Tunggu... Penulis - pemerhati lingkungan dan kesehatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang biasa yang ingin jadi orang baik di mata Allah

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Elegi Redupnya Budaya Berdendang Bengkulu Selatan

11 September 2021   17:52 Diperbarui: 11 September 2021   17:56 1115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Redupnya Budaya Bedendang Bengkulu Selatan ini dinukilkan oleh Ruhiman Saan, mantan wartawan Lampung Pos. Kini bermukim di Yogyakarta.
---------------------------------------
Indonesia adalah bangsa yang kaya akan adat istiadat dan budaya. Ribuan sukunya memiliki kebudayaan masing-masing. Kebudayaan yang selalu dijaga, tumbuh dan berkembang di dalam masyarakatnya.

Tak terkecuali pada Suku Serawai di Kabupaten Bengkulu Selatan, memiliki berbagai kebudayaan adat yang melekat di masyarakatnya. Adat dan kebudayaan ini sudah ada sejak zaman dulu kala yang dilaksanakan warga setempat.

Saya Ruhiman sebagai penulis sendiri yang merupakan kelahiran Dusun Lubuk Langkap, Desa Sukamaju, Air Nipis, Bengkulu Selatan, tidak hafal persis berapa banyak jenis tradisi kebudayaan dan adat istiadat di kabupaten ini. Hal ini mengingat penulis seusai menamatkan pendidikan SMP lebih banyak merantau--termasuk saat ini menetap di Yogyakarta.

Namun demikian saat duduk di bangku SMP kisaran tahun 1994--1997, penulis melihat beberapa jenis adat dan kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat Bengkulu Selatan.

Antara lain perjamuan saat kelahiran anak, menaikkan (mengairkan/ngaikkah) anak perempuan saat memasuki usia remaja, menyunatkan anak laki-laki, perjamuan syukuran hasil panen, perjamuan menyemen kuburan bagi yang sudah meninggal, tarian bimbang adat (bimbang siang atau bimbang malam) pada pesta pernikahan, hiburan seni dendang resepsi pernikahan, dan berbagai jenis kebudayaan lainnya yang penulis sendiri kurang mampu mengingatnya. Ditambah  berbagai tradisi turun temurun di masyarakat, seperti tradisi "berayak" kalangan anak muda, tradisi jamuan saat hari besar keagamaan, dan berbagai bentuk tradisi lainnya.

Berbagai kebudayaan yang melekat itu sendiri, sebagian diantaranya merupakan kegiatan sakral. Sakral disini tentu saja tidak dapat dilakukan secara sembarangan--prosesnya agak rumit dengan segala bentuk tetek bengek kegiatan di dalamnya.

Satu di antara berbagai kegiatan adat istiadat Suku Serawai di Bengkulu Selatan yang sangat menarik dalam pandangan penulis, yaitu seni dendang atau biasa disebut Bedendang.

Seni bedendang ini adalah jenis hiburan adat yang biasa dilaksanakan pada pesta pernikahan. Seni ini adalah perpaduan seni musik, seni suara, dan seni tari. Pelaksanaannya biasanya dilakukan malam hari.

Semua pemainnya berjenis kelamin laki-laki. Jumlah pemain setidaknya 12 orang atau lebih.
 
Musiknya adalah menabuh redap (rebana) berukuran besar dengan alunan tabuhan tersendiri. Tabuhan rebana dipadukan dengan alunan biola pemain lainnya.

Seni suaranya berisi lantunan pantun di dalamnya, menyuarakan kegembiraan, perjalanan hidup, dan juga pantun keharusan melepas anak  membentuk mahligai rumah tangga.

Sedangkan seni tarinya antara lain tari piring, tari sapu tangan, tari kain panjang, tari payung, dan berbagai jenis tarian lainnya.

Di penghujung tarian adalah menutup tari, yakni penganten laki-laki akan turun ke arena untuk memutus tari. Setelah itu pasangan penganten akan melakukan sembah atau sungkem dalam istilah lain kepada para pemain bedendang. Sembah ini juga pertanda berakhirnya kegiatan seni bedendang yang telah dilaksanakan.

Kegiatan bedendang ini biasanya berlangsung selama delapan jam atau lebih, yakni proses awal sekitar pukul 20:00 dan selesai menjelang subuh.

Kesenian bedendang ini sendiri dalam pandangan penulis sebenarnya termasuk kegiatan adat yang cukup sakral di masyarakat Bengkulu Selatan. Ini mengingat banyaknya kerumetan serta tetek bengek keruwetan dalam pelaksanaan prosesinya yang mesti dilalui.

Kaum ibu-ibu juga terlibat aktif di dalamnya.
Berbagai masakan dan minuman mesti dihidangkan selama prosesi ini. Tidak hanya satu jenis masakan dan minuman, tapi berbagai jenis. Begitu juga jenis snacknya terdiri atas berbagai snack. Juga tidak hanya sekali penghidangan, tapi beberapa kali--mencapai empai atau lima kali keatas.

Penghidang makanan dan minuman selama bedendang ini juga mesti dilakukan laki-laki, berjumlah dua, empat orang atau lebih. Mereka yang bertugas menghidangkan makanan disebut Jenang.

Seni ini sangatlah indah di mata penulis, menyenangkan menontonnya (begitu menghibur), dan sarat adat istiadat di dalamnya. Juga menampilkan skill-skill tersendiri para pemainnya, seperti pembawa seni suara, pemusik biola, dan penarinya. Tentu hal itu tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang, melainkan mereka yang benar-benar memiliki skill bedendang.

Sayangnya, saat ini pamor seni bedendang di Kabupaten Bengkulu Selatan kian tahun makin meredup. Bedendang mulai jarang digunakan dalam pesta-pesta perkawinan. Kebanyakan yang menggelar pesta perkawinan saat ini lebih cenderung memilih seni hiburan lain yang lebih praktis, tidak menguras banyak tenaga, dan tidak enjelimet dalam prosesnya. Seperti hiburan organ tunggal yang lebih digandrungi warga, khusus kaum milineal.

Hal ini diperparah minimnya jumlah generasi penerus di Bengkulu Selatan yang ingin mempelajari seni bedendang. Sementara  diantara para pemain di grop bedendang yang telah ada, selain dengan berbagai kesibukan masing-masing, juga sebagian di antara mereka banyak yang telah meninggal dunia.

Tentu ini mempercepat redupnya budaya dan adat istiadat yang cukup dibanggakan itu. Penulis sendiri, terakhir kali menyaksikan digelarnya seni bedendang yaitu Tahun 2004 silam. Kala itu ayahanda penulis menggelar pesta pernikahan kakanda penulis yang tertua. Dalam pesta itu selain digelar hiburan organ tunggal, bimbang, malam, dan hiburan lainnya, juga digelar hiburan bedendang. Setelah itu dalam beberapa kesempatan saat mudik ke kampung halaman, penulis tidak pernah lagi menemukan hiburan seni bedendang yang digelar warga.

Sebagai masyarakat dari Bengkulu Selatan, tentunya penulis berharap pemerintah daerah, melalui instansi terkait yang membidangi, dapat terus berupaya mempertahankan, mengembangkan, dan melestarikan adat istiadat dan budaya yang berkembang di masyarakatnya. Meningkatkan program pembinaan pada generasi penerus untuk terus mencintai dan melestarikannya mungkin salah satu solusinya. Semoga saja seni bedendang di Bengkulu Selatan terus lestari sebagai peninggalan budaya adat istiadat di tanah leluhurku.********

Roni Baid Pengacara asal Lubuk Langkapnyanh kini bermukim di Bandung mengikuti dan memberi apresiasi pola pikir Ruhim Saan, dan Buyung Nurman Marzuki,  pemerhati budaya daerah. Senang dan mendukung, sedikit di tambahkan agar budaya (Kekayaan Daerah). KEARIFAN LOKAL  Budaya tradisional itu dapat dipertahankan bila. Pemerintah Daerah dan DPRD ikut aktip  mempertahankan budaya ini dengan cara menyediakan ANGGARAN biaya (APBD) seperti di JAWA. Kotoprak, Calung, Wayang golek, Wayang Orang, dsb. Untuk itu sangat perlukan dukungan Unsur Pemerintah Daerah dan DPRD Bengkulu Selatan. Selamat berjuang, dan TERUS BERJUANG. Insyaa Allah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun