Mohon tunggu...
Supli EffendiRahim
Supli EffendiRahim Mohon Tunggu... Penulis - pemerhati lingkungan dan kesehatan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Orang biasa yang ingin jadi orang baik di mata Allah

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Elegi Dibalik Susahnya Cabut Gigi

6 September 2021   16:21 Diperbarui: 7 September 2021   06:58 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sewaktu SMA dan kuliah

Sewaktu jelang tamat SMA saya mengontrak di sebuah rumah di palak Sarak Manna Bengkulu Selatan. Mengambil kayu api sendiri, masak sendiri. Makanan hari hari saya adalah nasi dan sambal teri atau sambal terasi. Lalapannya adalah daun dan bunga ubi kayu karet. Ubi ini ada di depan rumah atau jadi pagar halaman.

Waktu kuliah tingkat 2 dan 3 kehidupan saya sebelum dapat beasiswa memang sedang berada di kondisi terburuk akibat jatuhnya harga kopi di pasaran dunia. Kopi nyaris tidak ada harganya ditambah panen kopi memang sangat sedikit.  Kami makan bubur gandum bumbu lengkap.

Waktu baru jadi asisten dosen juga penderitaan belum berakhir. Waktu itu saya membawa dua adik yang sedang sekolah di SMP dan SMA juga harus prihatin dalam segala hal. Makan nasi lauk sambal dan rebusan daun ubi kayu karet adalah masih menghiasi kehidupan kami 3 beradik sekitar 6 bulan pertama. Kami ngiler lihat teman yang merupakan tetangga kami sesama dosen yang selalu makan super mie.

Itu saja tidak apa apa..Yang agak sakitnya di sini adalah "wah habis pagar ni oleh kamu". Hehe. Halaman yang luas di kiri asrama dosen muda jadi lahan garapan kami untuk menanam ubi jalar. Setelah satu bulan menu kami berubah dari pagar menjadi "batu" di halaman. Meminjam istilah koes plus.

 Alhamdulillah setelah keluarga ayah pindah ke kota walau ada masa kritis sekitar 3 bulan tetapi setelah itu keluarga ayah mulai ada canda dan tawa karena saya dengan anugerah Allah mampu beli 1 ha lahan yang dibeli dengar air mata. Kok begitu? Iya malamnya saya menangis sejadi jadinya karena ayah pamit mau pulang  setelah jadup 2 bulan pertama habis.

Paginya saya pamit untuk cari lahan dengan modal nekad. Motor kredit saya akan tukarkan dg lahan. Melalui jasa baik drs Ilyas Remiasip kami menemui anggota DORD Sumsel yang kebetulan ingin jual tanah dan.mau beli motor. Alhamdulillah klop sudah. Anggota DPRD itu kena marah mertuanya karena menjual tanah sangat murah.

Setelah tanah diusahakan tentu dengan pemupukan berat, dicampur, pupuk kandang dan dibuat galangan kehidupan ayah dan bunda berubah jadi hepi.  Untuk penjualan dibelikan sepeda alias kertangin. Jarak kebun dengan pasar Perumnas sekitar 3 km atau mirip jarak Lubuk Langkap Palak Bengkerung.

Jadi itulah anak2 dan tuan dokter kenapa gigi saya susah dicabut karena hidup saya banyak makan bahan kimia SS. Apa itu tuan? Sangat susah. Konek dok? Ooh ok. saya faham. Lupakan itu semua. Mari kita hepi hepi saja..Ok? Alhamdulillah.

Jayalah kita semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun