Mohon tunggu...
Supiandi Ndi
Supiandi Ndi Mohon Tunggu... Peneliti -

Peneliti di Dashboard Ekonomika Kerakyatan FEB UGM | Student at The Center of Maritime and Air Transport Economics, Universiteit Antwerpen, Belgium

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Intelektual Milenial, Jalan Pikiran dan Jalan Hidup

8 Februari 2019   01:06 Diperbarui: 8 Februari 2019   15:20 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Memulai dengan mengutip pidato Pendiri Bangsa Bung Karno saat penerimaan gelar Doktor Honoris Causa Ilmu Hukum di Balai Senat UGM tanggal 19 September 1951:

"Ilmu pengetahuan hanyalah berharga penuh jika ia dipergunakan untuk mengabdi kepada praktek hidupnya manusia,atau praktek hidupnya bangsa, atau praktek hidupnya kemanusiaan. Itulah sebabnya saya selalu mencoba menghubungkan ilmu dengan amal; menghubungkan pengetahun dengan perbuatan, sehingga pengetahuan ialah untuk perbuatan dan perbuatan di pimpin oleh pengetahuan. 

Bahwa pengetahuan, bahwa ilmu, bahwa kennis, bahwa wetenschap, bahwa teori adalah tiada guna, tiada wujud, doellos, jika tidak dipergunakan untuk mengabdi kepada prakteknya hidup. Buatlah ilmu berdwitunggal dengan amal".

Ungkapan Bung Karno di atas bisa menjadi rujukan generasi intelektual selanjutanya. Perjuangan aktivis yang dibalut dengan intelektulitas pada fase kolonial berhasil menggerakan semua elemen bangsa untuk berkontribusi pada kemerdekaan dan kemanusiaan.

Jika kita membuka labirin sejarah bangsa, terdapat pola perjuangan kaum intelektual dalam mempertahankan hidup dan fikirannya.

Fase kolonial dan awal kemerdekaan, kaum intelektual bergerak untuk merebut kemerdekaan dengan berhadapan langsung dengan penguasa (kolonial), para ahli menyebutnya dengan perpaduan aktivis-intelektual. 

Tidak jarang kaum intelektual yang memilih berkonfrontasi dengan kekuasan berakhir di pembuangan. Kegigihan kaum intelektual di masa ini melahirkan dasar-dasar bernegara, yang menjadi pijakan dalam perumusaan kebijakan hingga saat ini.

Fase orde baru, tuntutan kekuasaan menjerumuskan kaum intelektual sebagai instrumentalis. Kekuasaan memiliki kepentingan untuk mempengaruhi, bahkan mendikte agenda - agenda ilmu pengetahuan. 

Hal ini menyebabkan suburnya ilmu  pengetahuan yang ateoritis, tidak perduli dengan pengembangan teori sebagai bagian dari tanggung jawab intelektual dalam memproduksi pengetahuan.

Fase ini mengingtkan pada ungkapan Gramsci pada tahun 1971, Gramsci membedakan intelektual dalam dua kelompok yaitu intelektual tradisional dan organik.

Intelektual tradisional bertindak sebagai antek penguasa, sehingga karakter pokok intelektual yang berfikir bebas tidak mendapat ruang yang memadai.

Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas. 

Sebagian dari mereka ini memunculkan sindrom antipolitik yang dikemas dengan jargon netral dan profesional.

Fase selanjutnya adalah  reformasi. Pergantian fase tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru, bahkan melahirkan budaya baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitu budaya birokratisasi.

Budaya riset di perguruan tinggi yang kita alami bersama tidak jarang untuk memenuhi bukti-bukti administrasi, skripsi dan thesis yang kita hasilkan sebagai hiasan di perpustakaan semata.

Riset-riset di instansi hanyalah menjadi syarat dalam melengkapi admisnistrasi, bahwa kebijakan ini di susun berdasarkan kajian yang mendalam. 

Padahal, senyatanya kebijakan yang disusun untuk mengakomodir kepentingan politik golongannya.

Meskipun ada berita menggembirakan, keterlibatan ilmuan Indonesia dalam memproduksi ilmu pengetahuan global semakin meningkat. 

Akan tetapi hal ini perlu kita ktitisi bersama, jangan-jangan keterlibatan kita hanya menjadi penyedia bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan bagi negara-negara maju. 

Hal ini dikuatkan lagi oleh riset-riset yang kita lakukan hanya bermain di pembuktian teori yang sudah diciptakan oleh orang-orang barat.

Di tengah kegamangan kaum intelektual saat ini, jika merujuk pada ungkapan Gramsci rasa-rasanya generasi milenial tidak bisa berpaku pada dua kelompok pembagian itu (tradisional dan organik). 

Intelektualmilenial harus menciptakan kelompok baru, entah apapun itu namanya. Kelompok yang mampu menjembatani kaum tradisional dan organik.

Kelompok intelektual yang bisa menjadi tradisional di siang hari dan menjadi organik di malam hari, atau sebaliknya. 

Kaum intelektual yang bisa memproduksi ilmu pengetahuan bukan hanya di Kampus, tapi bisa melahirkan gagasan di kedai kopi atau tongkrongan lainnya.

Dalam hal kekuasaan versus oposisi. Intelektual milenial bisa dekat dengan penguasa bahkan masuk dalam kekuasaan tanpa menghilangkan rasionalitasnya, dan intelektual milenial yang dekat dengan oposisi bahkan menjadi bagian oposisi tanpa menghilangkan idologinya.

Mungkin banyak yang bertanya apakah bisa manusia seperti itu, jika mengikuti alur berfikir generasi lama tentu akan sangat susah. 

Karena fikiran mereka di balut oleh budaya konfrontasi bukan kooperasi. Fondasi berfikir generasi milenial adalah sharing layaknya berfikir pejuang bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan.

Lalu jika melihat generasi milenial saat ini, baik yang di kekuasan ataupun luar kekuasaan (berlatar belakang  intelektual) tapi mereka berkonfrontasi dengan bangga di depan publik. 

Jawabannya adalah mungkin mereka tertular dengan generasi sebelumnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun