Sedangkan intelektual organik adalah mereka yang berfungsi sebagai perumus dan artikulator ideologi dan kepentingan kelas.Â
Sebagian dari mereka ini memunculkan sindrom antipolitik yang dikemas dengan jargon netral dan profesional.
Fase selanjutnya adalah  reformasi. Pergantian fase tidak dengan sendirinya melahirkan budaya ilmu pengetahuan baru, bahkan melahirkan budaya baru dalam pengembangan ilmu pengetahuan yaitu budaya birokratisasi.
Budaya riset di perguruan tinggi yang kita alami bersama tidak jarang untuk memenuhi bukti-bukti administrasi, skripsi dan thesis yang kita hasilkan sebagai hiasan di perpustakaan semata.
Riset-riset di instansi hanyalah menjadi syarat dalam melengkapi admisnistrasi, bahwa kebijakan ini di susun berdasarkan kajian yang mendalam.Â
Padahal, senyatanya kebijakan yang disusun untuk mengakomodir kepentingan politik golongannya.
Meskipun ada berita menggembirakan, keterlibatan ilmuan Indonesia dalam memproduksi ilmu pengetahuan global semakin meningkat.Â
Akan tetapi hal ini perlu kita ktitisi bersama, jangan-jangan keterlibatan kita hanya menjadi penyedia bahan mentah dalam proses produksi ilmu pengetahuan bagi negara-negara maju.Â
Hal ini dikuatkan lagi oleh riset-riset yang kita lakukan hanya bermain di pembuktian teori yang sudah diciptakan oleh orang-orang barat.
Di tengah kegamangan kaum intelektual saat ini, jika merujuk pada ungkapan Gramsci rasa-rasanya generasi milenial tidak bisa berpaku pada dua kelompok pembagian itu (tradisional dan organik).Â
Intelektualmilenial harus menciptakan kelompok baru, entah apapun itu namanya. Kelompok yang mampu menjembatani kaum tradisional dan organik.