Terpilihnya Jokowi-Jusuf Kalla menjadi babak baru pembangunan ekonomi maritim Indonesia, jika melihat perjalanan sejarah bangsa, Indonesia pernah mengalami kejayaan di bidang maritim. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit sebagai bukti kejayaan Nusantara dalam menguasai maritim, kedua kerajaan ini menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara.
Kejayaan tersebut mulai memudar seiring dengan munculnya kolonialisme dari Eropa (abad 16) yang membatasi gerak pelayaran nusantara. Belanda berhasil merubah mindset penduduk nusantara dengan melihat daratan sebagai potensi utama, layaknya seperti daratan Eropa. Pelabuhan yang menjadi ujung tombak perputaran roda ekonomi saat itu mulai ditinggalkan dan mati.
Menjelang kemerdekaan, para pendiri bangsa memiliki niatan untuk mengembalikan kejayaan Sriwijaya dan Majapahit, terbukti dalam sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945, Muhammad Yamin dengan tegas memperjuangkan perwujudan Tanah-Air kedalam wilayah negara Indonesia.
Perjuangan mengintegrasikan laut kedalam wilayah Indonesia kembali diperjuangkan oleh Perdana Menteri Djuanda tahun 1957 dan didukung olehPresiden Soekarno dengan memperkuat angkatan laut lengkap dengan sistem persenjataannya.Namun, lagi-lagi perjuangan mengembalikan kejayaan di laut gagal setelah pemerintahan berpindah kePresiden Soeharto yang membangun perekonomian yang berorientasi pada darat.
Tahun 2014, momentum untuk mengambalikan kejayaan dimasa lampau datang lagi, dengan dibentuknya Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman yang saat ini dipimpin oleh Jendral TNI (Purn) Luhut Binsar Panjaitan, menunjukkan keseriusan pemerintah saat ini. Ditunjuknya Susi Pudjiastuti sebagai menteri Kelautan dan Perikanan telah memberikan dampak positif bagi perkembangan keluatan Indonesia.
Tercatat 70 persen produksi minyak dan gas nasional berasal dari wilayah pesisir dan lautan, produksi perikanan tangkap Indonesia berada di peringkat 2 dunia pada tahun 2012, dan luas terumbu karang Indonesia sebesar 85.000 km2(Ditjen Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan).
Selanjutnya, Menteri Kelautan dan Perikanan mengungkapkan bahwa terdapat potensi peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar 25 triliun rupiah per tahun yang belum dimanfaatkan dari sumber daya ikan dan sumber daya non-ikan.
Untuk merealisasikan seluruh potensi di sektor maritim dibutuhkan langkah strategis, guna menjadikan sektor maritim menjadi lumbung ekonomi nasional. Kombinasi antara sumberdaya manusia, pengelolaan lahan, dan pemanfaatan teknologi bisa menjadi pilihan terbaik untuk meningkatkan daya saing sektor maritim Indonesia.
Sumberdaya manusia yang memiliki kapabilitas di sektor maritim mutlak dibutuhkan, saat ini Indonesia masih kekurangan sumberdaya manusia yang memiliki spesialisasi keahlian dibidang maritim.
Terobosan harus segara dilakukan dengan melakukan kerjasama peningkatan kualitas tenaga kerja di bidang maritim. Port of Antwerp International bisa menjadi salah satu pilihan kerjasama untuk meningkatkan kemampuan dibidang pengelolaan pelabuhan, operasional alat-alat penunjang aktivitas pelabuhan sekaligus membuka jaringan kerjasama internasional. Norwegia bisa menjadi pilihan untuk pengelolaan sumberdaya hasil laut dan belajar di Alaska bagaimana mengelola sumberdaya laut di lepas pantai.
Melakukan penyegaran dan mendesain kembali kurikulum politeknik dan sekolah menengah kejuruan perikanan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan industri maritim. Membuka konsentrasi ekonomi maritim di perguruan tinggi nasional yang berorientasi pada riset dan pengembangan industri maritim.
Untuk meningkatkan kualitas riset, perguruan tinggi nasional bisa mengambil langkah dengan menjalin kerjsama dengan kampus luar negeri yang sudah memiliki pengalaman riset internasional di bidang maritim seperti Center for Maritime Economics and Logistics (MEL) - Erasmus University Rotterdam, Netherlands; Center for Maritime and Air Transport Management (C-MAT) - University of Antwerp, Belgium; dan Australian Maritime College (AMC) - University of Tasmania, Australia.
Ketersediaan lahan untuk melakukan aktivitas maritim menjadi langkah kunci selanjutnya. Membangun pusat pertumbuhan ekonomi yang berasis maritim harus di lokasi yang strategis, dekat dengan sumberdaya bahan baku, atau dengan memilih lokasi yang dekat dengan pasar sehingga bisa menurunkan biaya transportasi. Memilikilima pulau besar dan ribuan pulau-pulau kecil menjadi potensi serta tantangan tersendiri bagi Indonesia. Membangun pelabuhan yang berfungsi sebagi hub di pulau besar dan pelabuhan penunjang di pulau-pulau kecil.
Sebagai contoh, Port of Antwerp yang lokasinya di jantung Eropa, mampu menjadi pelabuhan yang memilik posisi kuat di Eropa. Saat ini, Port of Antwerp merupakan pelabuhan kedua terbesar di Eropa sekaligus menjadi gerbang distribusi logistik di daratan Eropa.
Pelabuhan yang berkualitas bukan hanya pelabuhan yang berfungsi sebagai lokasi untuk bongkar-muat barang saja, tetapi pelabuhan juga harus memiliki fungsi sebagai pusat pengolahan barang dan jasa (value added).
Sebagai ilustrasi, di sekitaran lokasi pelabuhan dibangun industri pengelolaan rumput laut, ketika yang masuk ke pelabuhan rumput laut maka yang keluar dari pelabuhan adalah variasi makanan, obat-obatan yang berbahan dasar rumput laut. Dengan demikian, kehadiran pelabuhan bisa memberi manfaat bagi lingkungan pelabuhan itu sendiri.
Langkah strategis  terakhir yaitu menggunakan teknologi terbaru di bidang maritim. Teknologi menjadi syarat yang harus terpenuhi untuk bisa bersaing dengan negara-negara yang sudah mengembangkan industri maritim.
Singapura menjadi pemain industri maritim yang sangat tangguh di kawasan Asia-Tenggara dan Port of Singapore tercatat sebagai pelabuhan yang paling efisien di dunia. Efisiensi identik dengan kemampuan penggunaan teknologi terbaru dan bedampak pada kecepatan bongkar-muat barang.
Sebagai perbandingan di kawasan Asean, dwell time pelabuhan di Indonesia membutuhkan 3,5 hari, pelabuhan di Malaysia 3 hari, dan Pelabuhan di Singapore 1,5 hari. Pada tahun 2016 World Shipping Council merilis volume kontainer yang singgah di berbagai pelabuhan di dunia. Volume kontainer di Port of Singapore sebesar 33.87 juta TEU, sedangkan pelabuhan Tanjung Priok, Indonesia hanya 6.40 juta TEU.
Secara letak gografis, Indonesia memiliki peluang yang besar sebagai hub Asia dan Australia, syarat yang harus di penuhi adalah peremajaan teknologi di pelabuhan, menyesuaikan kapsitas cranedengan mengikuti daya muat kapal, serta memiliki standar operasional yang memenuhi standar internasional.
Tidak ada kata terlambat dalam pembangunan industri maritim, tinggal memilih untuk memanfaatkan potensi atau mengabaikan. Mengombinasikan sumber daya manusia, pengelolaan lahan, dan pemanfaatan teknologi pada akhirnya akan berdampak pada peningkatan revenue di sektor maritim.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H