Pagi ini saya bertanya pada diri sendiri, apa yang membedakan pagi ini dengan pagi-pagi lainnya yang telah lewat? Saya mematung memikirkan jawaban yang saya lontarkan untuk diriku sendiri. Ya, pagi ini tak jauh berbeda dari pagi yang lain. Sudah beberapa kali saya termenung sendiri setelah selesai sholat subuh. Namun, tetap tak ada jawaban yang bisa saya temukan. Barangkali saya memang harus mulai berhenti bertanya. Bertanya semakin membuat hari-hariku kian muram. Gelap dan kosong.
Setiapkali pertanyaan-pertayaan itu menjalar dalam pikiranku. Saya selalu berusaha mengentikannya. Pikiran-pikiran yang memang tak patut saya pikirkan kadang-kadang suka bermain-main dalam kepalaku. Hal itulah yang kerapkali membuatku tampak kikuk dan selalu merenung. Tapi inilah saya, dengan segala keruwetan dan keliaran dalam berpikir.
Selain saya mungkin banyak diluar sana menikmati gaya hidup yang tak pernah mereka sangka-sangka, bergembira ria walau merasakan hati yang remuk tercabaik-cabik oleh kehidupan. Ya, inilah hidup. Esok akan dihiasi dengan pikiran dan kisah baru lagi. Dan satu minggu belakangan ini, saya mencoba menghimpun satu kisah tentang kawan kecilku yang kerapkali menghiasi hari-hariku.
Sabtu pagi, pukul 08.00, kawan kecilku yang lucu bertandang ke kamarku. Ia terbilang lucu, kuat, dan suka bertanya. Ia kurang normal, daya pikirnya tidak seperti anak-anak pada umumnya. Saat ini ia sudah menginjak 17 tahun. Tapi  saya tetap menganggap dia sebagai kawan kecilku. Saat mulai mengenalku, ia kerapkali bertanya tentang Jawa. Tentang bagaimana saya menjalani hidup di Malang.
Segala seluk beluk pertanyaan tentang sekolah tak pernah lepas ia lontarkan. Saya akan dengan sabar menceritakan setiapkali ia bertanya. Kadang-kadang saya akan menuliskan jika penjelasanku tak terdengar jernih ditelinganya. Ia tuli dan cara bicaranya tak normal. Segala yang diucap tak pernah taratur.Â
Sudah hampir satu minggu sejak kepulanganku dari Malang, dia selalu datang kekamarku. Entah pagi, siang, atau malam. Tidak banyak aktivitas yang dilakukan dikamarku. Ya, hanya sebatas tiduran memegang Handphone. Tetapi belakangan ini, ia mulai menyebalkan. Suka bertanya yang aneh-aneh. Tentang buku-bukuku. Tetang foto yang menghiasi dinding kamarku. Atau sesekali ia bertanya tentang alat-alat kopiku yang berderet-deret rapi.
Seperti hari-hari sebelumnya, kami selalu terlibat pembicaraan yang mengundang tawa. Saya selalu memancingnya untuk menceritakan perihal apakah ada seorang perempuan yang dia sukai. Ia tetap mengelak. Selalu mengelak dengan wajah malu-malu disertai tawa yang begitu keras. Selain percakapan-cakapan ringan. Ia juga suka bertanya mengenai nama tokoh yang menghiasi dinding kamarku. Contohnya foto Goethe; siapa dia? berasal dari mana? kenapa kau menyukainya? apa yang sudah dia perbuat hingga kau pasang fotonya di kamarmu? Begitulah pertayaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Tentu dengan menggunakan bahasa daerah.
Begitu juga dengan kekagumannya melihat alat-alat kopiku yang tak pernah di lihat sebelumnya. Saat ia bertanya sungguh menyebalkan. Ia bahkan ingin mencoba satu persatu alat kopiku dalam satu waktu. Tentu saya melarangnya meminum kopi dengan jumlah yang banyak dalam satu waktu. Bisa-bisa lambungnya sakit dan membuatnya bolak-balik kamar mandi.
Kawan kecilku ini memang aneh. Tetapi ia pekerja keras dan penuh dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Namun, lingkungan sekitar kerapkali tak menganggap keberadaanya. Entah dimaklumi atau tidak. Tidak ada yang bisa merubah padangan umum itu. Karena ketidaknormalanya itu ia kerapkali dijahili. Meski begitu orang-orang di lingkungannya tak pernah menyadari perlakuannya atas kawan kecilku. Sayangnya, saya tidak bisa membaca karakter seseorang sehingga saya tidak tahu persis apa yang dirasakan tiap kali ia kena rundung.
Namun bagiku, ia adalah seorang yang menyenangkan untuk diajak bicara meskipun setiapkali saya harus menggunakan berbagai macam cara untuk membuatnya mengerti apa yang saya ucapkan. Pernah suatu ketika, ia membaca buku dengan terbata-bata seperti anak SD yang sedang belajar membaca.