Konservasi kreatifitas muncul sebagai opsi-opsi positif yang menuntut produktivitas ide, betapa pun sederhana bentuknya. Kebutuhan-kebutuhan manusia menjadi tersederhanakan oleh waktu .Rantai produksi sedemikian cepat dan canggih menciptakan komoditas dan menutupi lobang-lobang kebutuhan manusia modern.
Dengan kondisi semacam itu, maka peluang bagi bangsa Indonesia untuk menjual gagasan dalam moda dekonstruksi dari gagasan besar bangsa yang telah mapan secara ideologis menjadi mungkin. Dan mungkin juga menjual ide sebagai pecahan-pecahan duratif yang bakal terekonstrusi oleh reaksi massa atas ikon-ikon publik yang terpasarkan Masalah yang mungkin timbul adalah sulitnya kita membangun sebuah kebanggaan nasional sebagai representasi kekuatan ideologis kita saat ini.
Unit-unit produksi nilai dan barang publik bangsa kita praktis lumpuh dan kita “terjajah” oleh moda utilitas global. Nilai-nilai bangsa sering dan biasa kita lumpuhkan sendiri, kita kebiri sendiri, kita sembelih sendiri dalam rantai birokrasi dan peraturan yang mengisolasi sehingga menjadi nilai yang tak mendapatkan kesempatan memperoleh sandaran-sandaran prosesnya menuju kemanfaatannya bagi diri dan kemungkinan mengiluminasikannya sebagai tanda keberadaban diri.
Modal awal bangsa
Keberagaman eksistensi merupakan “makanan” sehari-hari bagi bangsa Indonesia. Kita telah terbiasa beraksi, berinteraksi dan berkreasi apa pun sederhananya dalam kondisi plural. Ini tentu saja bisa menjadi modal bagi proses peletakan jembatan konstruksi menuju kreatifitas kolektif bangsa. Bila pun sering muncul persoalan di dalamnya, maka yang selama ini terjadi dapat diatasi dengan moda-moda konservasi yang telah ada.
Dialog durasi optis dan auditif telah mampu kita lakukan dengan cara beragam. Filosofi Ki Hajar Dewantoro telah mempolakan dialog tersebut dalam urutan opsional kepemahamannya. Diam, aksi, dan keadilan antara keduanya telah terumuskan dalam ukuran kesederhanaan manusia Indonesia yang belajar.
Secara moral bangsa Indonesia telah memiliki pranata dalam menghadapi dan menyikapi fenomena imagi dan realisasi wujudiah makna-makna abstraknya. Artinya, kekhawatiran akan munculnya kejatuhan moral bangsa ke dalam jurang kerendahdirian maknawinya mungkin bisa dihindari dan diatasi oleh bangsa Indonesia.
Kerja adalah pema’afan dan sekaligus kesyukuran dari sebuah peradaban. Jika sebuah peradaban telah sarat dengan manipulasi, ketakjujuran menyeluruh dan permainan yang tak menggambarkan kecerahan yang cerdas, kecuali tuangan kemunafikan, alienasi dan pengingkaran- pengingkaran, maka kerjalah sarana penyembuhan yang utama. Sebuah rimba, iklim yang dingin memang menjadi tantangan besar bagi para pekerja film. Tak ada sambutan yang hangat bagi para frontier di mana pun adanya.
Tanpa bermaksud mengecilkan hati para pekerja dan produsen ide Indonesia saat ini, kita layak berharap secara khusus agar tangan-tangan kekuasaan modal dan birokrasi mengembangkan keterbukaannya atas kerja positif anak-anak bangsanya. Tak harus Bapakisme yang mesti mengajarkan langit penemuan diri. Namun barangkali kelembutan ibu pengetahuan yang mesti memberi perlindungan yang kukuh dan sederhana. Langit terbuka, bumi merekah dengan tunasnya dan rimba-rimba adalah kehangatan luah-luah kreatif yang tak habis-habisnya untuk kita gali, menjadi kekayaan peradaban.
Supatmono
Alumni Teknik Fisika ’88-ITB
Jalan Pratama 19 September 2009