Banyak pemain sepak bola nasional hingga dunia yang hebat, lalu seiring perjalanan waktu, tenggelam. Banyak faktor yang menjadi penyebab mengapa pemain sepak bola yang hebat, dikenal dan terkenal baik di lingkungan sepak bola nasional hingga dunia menjadi tenggelam?
Dari berbagai sumber, bisa didapatkan fakta-fakta bahwa, satu di antaranya mengapa pemain sepak bola yang hebat kemudian tenggelam? Jawabnya adalah karena faktor mentalitas.
Banyak pemain hebat yang meski masih dalam usia produktif (top performance) ternyata langsung drop mentalnya karena faktor pelatih yang tidak lagi menjadikannya sebagai pemain utama di sebuah tim. Lambat laun, kepercayaan diri pemain menurun hingga berpengaruh pada skill permainannya karena pengaruh psikologis.
Terlebih persaingan dalam tim sepak bola profesional, nasional, dunia sangat ketat. Bahkan sering kita lihat, pemain yang sudah cidera dan berdarah-darah masih tetap dipertahankan oleh pelatih untuk berada di dalam lapangan demi mempertahankan kemenangan/mencari kemenangan karena berpikir prestasi dan kinerja. Padahal di bench pemain masih tersedia 7 pemain pengganti yang levelnya tidak jauh berbeda.
Dengan demikian, sadarkah para pelatih-pelatih tersebut telah membunuh secara perlahan, skill pemain hebat lainnya yang ada dalam tim yang sama karena pemain menjadi tertekan secara psikologis.
Banyak sekali pemain hebat yang meski kembali diberikan kesempatan bermain di tim yang sama, karena pelatih telah berganti, butuh waktu lama untuk kembali pada penampilan top performance-nya.
Bila dalam level sepak bola nasional, profesional, atau dunia, yang ada adalah mengejar prestasi, hingga pelatih selalu berpikir mamainkan pemain yang terbaik menurut pola berpikirnya, maka jika ada pemain yang telah direkrut/dikontrak, sudah masuk line up 18 pemain namun tidak pernah diturunkan, atau  bahkan sering hanya menjadi stok pemain dalam klub/tim, tidak masuk dalam line up 18 pemain, itu adalah risiko dari sebuah pekerjaan profesional bernama sepak bola.
Karenanya, semua pemain harus berterima atas risiko menjadi pemain yang tidak diutamakan pelatih, meski bisa jadi pemain yang sama, bila berada di klub/tim yang lain akan selalu menjadi pilihan utama oleh pelatih lainnya. Jadi, faktor pelatih lagi-lagi menjadi penentu nasib pemain.
Prinsipnya, di sepak bola profesional, nasional, dunia, menjadi pemain sama dengan memiliki risiko menjadi pemain cadangan, maka mental pemain harus benar-benar kuat, karena pelatih juga memiliki risiko yang sangat berat, tak berprestasi, maka dipecat.
Pembina/pelatih memahami dasar berpikir
Bila demikian yang terjadi dalam sepakbola profesional, nasional, hingga dunia, banyak pelatih sepak bola yang tanpa sadar atau ada yang dengan sadar membunuh mental pemain yang tidak disukai/bukan pilihannya untuk kemudian  menjadikannya penghuni bangku cadangan karena tuntutan prestasi dan tanggungjawab profesionalisme, maka khususnya di sepak bola akar rumput Indonesia, harapannya tidak terjadi hal yang demikian.
Jangan sampai pembina/pelatih sepakbola akar rumput di Indonesia, menjadi pembunuh mental anak-anak didiknya sendiri.
Pembina/pelatih wajib memahami apa latar belakang dan tujuan pembinaan, pelatihan, hingga festival, turnamen, dan kompetisi sepak bola akar rumput.
Atau paling tidak, pembina/pelatih memahami aturan-aturan permainan sepak bola atau Laws of the Game (LOTG) yang menjadi satu-satunya hukum sepak bola yang dianut oleh badan olahraga FIFA di antaranya peraturan jumlah pemain.
Sesuai LOTG, jumlah pemain pada setiap tim sepak bola maksimal terdiri dari sebelas orang (ditambah para pemain cadangan) dengan salah satu di antara mereka menempati posisi kiper. Aturan ini diberlakukan menurut hukum ke-3 LOTG.
Sejumlah pemain dapat diganti dengan pemain cadangan selama pertandingan. Jumlah maksimum pemain pengganti (substitusi) yang diizinkan dalam sebuah pertandingan resmi liga domestik dan ajang internasional FIFA adalah tiga orang.
Namun, Â dapat bervariasi jumlah pemain dan cadangannya dalam ajang festival, turnamen, Â kompetisi lain atau dalam pertandingan persahabatan (friendly match).
Alasan umum atau latar belakang untuk substitusi atau adanya pergantian pemain adalah untuk antisipasi cidera pemain, kelelahan, perbaikan posisi pemain, pengubahan taktik dan strategi, atau sekadar mengulur waktu di akhir pertandingan dll.
Dengan demikian, bila dalam pembinaan sepak bola akar rumput ada festival sepak bola antar SSB dengan kuota pemain 12 orang, sistem bertanding 7 vs 7 atau 8 vs 8, maka pemain lainnya, jangan dianggap sebagai cadangan.
Berikan seluruh pemain kesempatan bermain yang sama, tidak berpikir juara, maka mental dan psikologis pemain menjadi kuat, pembina dan pelatih, tidak menjadi pembunuh pertama mental pemain usia dini.
Bila dalam turnamen/kompetisi antar SSB pertandingan 11 vs 11, dengan jumlah pemain didaftarkan dalam line up 18 orang, maka berikan kesempatan yang sama kepada 7 pemain lainnya pula. Di sinilah intinya pembinaan dan pelatihan sepak bola akar rumput, karena tujuan utamanya adalah meningkatkan teknik, intelegensi, personaliti, dan speed pemain, bukan membunuh secara merata TIPS pemain.
Bila pemain usia dini/muda telah menerima/perlakuan dibedakan/dinomordua-tigakan/dianak-tirikan oleh pelatih, maka pembina dan pelatih harus sadar bahwa mereka telah membunuh dengan perlahan personaliti (mental/psikologis, kepercayaan diri) pemain yang akan berefek domino, pemain akan malas, rendah diri, yang langsung berakibat pada daya intelegensi, teknik, dan speednya, karena mentalnya tergerus. Buntutnya, saat terlambat menurunkan pemain, maka kita tidak akan lagi menemukan permainan yang diharapkan dari pemain karena mental telah tergerus. Pemain di dalam hati sudah marah, kecewa, kesal dll.
Seharusnya, dalam pembinaan sepak bola akar rumput, pembina dan pelatih sadar dan jeli bahwa ada pemain yang berbakat atau hanya berminat bermain sepak bola harus tumbuh dan berkembang sektor TIPS nya secara bersamaan.
Maka, saat mereka meninggalkan wilayah akar rumput, beranjak dewasa, maka akan mencapai top performance sebagai pemain sepak bola yang telah melalui pembinaan dan pelatihan yang dipandu oleh pembina dan pelatih dengan aturan dan cara yang benar.
Atas kondisi tersebut, saat saya mengintip perhelatan kualifikasi sepak bola wilayah 1 Popwilda Jabar 2019, yang berlangsung 27 Juli hingga 1 Juli 2019, salut kepada pembina dan pelatih yang memaksimalkan keberadaan pemainnya dalam tim.
Sebab, kualifikasi sepak bola ini memang dengan tujuan prestasi, karena sesuai regulasi, juara dan runner up otomatis lolos ke putaran final Popda Jabar 2020, maka seluruh pembina dan pelatih memang menekankan untuk timnya memenangi setiap laga.
Maka, sudah barang tentu, setiap laga, pembina dan pelatih selalu menurunkan pemain terbaiknya, meski di dalam line up ada 18 pemain.
Yang menarik, karena regulasi pertandingan boleh memainkan 5 pemain cadangan, ternyata hampir seluruh pembina/pelatih tim peserta, memaksimalkan 5 pergantian pemain dengan dasar pemikiran bahwa seluruh pemain 18 pemain yang di bawa oleh tim Kota/Kabupaten adalah merupakan pemain terbaik hasil seleksi yang diikuti oleh ratusan pelajar di kota/kabupaten mereka.
"Sayang kalau bawa 18 pemain, 7 pemain cadangan hanya menjadi penonton, kan kita yang memilih mereka dari ratusan peserta. Level mereka sama, namun karena pertandingan harus 11 vs 11, maka 7 pemain kami mainkan bergantian. Tetap kami ingin menang karena ini membawa nama baik daerah.
Namun, karena level mereka dan komposisi pemain juga sudah kami sesuaikan berimbang, maka saat kami turunkan pemain lain dari bench pemain, kami bilang mereka bukan pemain cadangan, namun bermain gantian. Kami jaga mental pemain dengan ucapan, semua adalah.pemain utama, namun yang main 11 dulu, yang lain bergantian.
Hasilnya, meski 5 pemain kami masukkan menggantikan pemain lain, tidak berpengaruh kepada pola permainan tim, cara bermain tim, dan keseimbangan tim dan tim tetap dapat unggul dari lawan karena solid dalam kebersamaan dan kekeluargaan, tidak ada pemain yang dianak-emaskan.
Saat, bermain, bila ada pemain yang tidak berkembang dan tidak berkontribusi kepada tim, maka segera kami tarik ke luar, karena ada pemain lain yang sama levelnya. Ini buat pembelajaran.
Terpenting, kami usahakan tidak menjatuhkan mental pemain. Kami tidak ingin ada pemain yang jatuh mental, hingga akhirnya berpengaruh kepada kemampuan/skill pemain." ujar salah satu pembina yang saya ajak diskusi menyoal jatuhnya mental pemain karena perlakuan pelatih.
Ayo pembina dan pelatih sepak bola usia dini dan muda Indonesia, jadilah pembina dan pelatih yang terus mengangakat dan menaikkan personaliti  (sikap/mental) pemain, dengan perlakuan dalam pembinaan, pelatihan, hingga dalam pertamdingan yang mendidik. Maka, kita akan melihat tumbuh kembang pemain-pemain muda kita yang bermental baja, percaya diri hingga saatnya mereka mencapai top performance sebagai pemain sepak bola.
Jangan bunuh mental mereka, hingga bakat, motivasinya menjadi layu sebelum berkembang. Atau paling tidak, bila saat pemain usia dini dan usia muda ini menginjak dewasa dan tidak memilih sepak bola sebagai pegangan hidupnya, Anda-Anda pembina dan pelatih sepak bola yang telah mendidik mental baja mereka akan dikenang sepanjang masa karena telah memupuk pondasi mental anak-anak (mereka) untuk bekal menghadapi dunia nyata di dalam maupun di luar sepak bola.
Ingat, lewat pintu-pintu pembinaan dan pelatihan sepak bola, dengan pendidikan pelatihan yang benar, maka sepak bola akan siginifikan menjadi penyumbang pendidikan karakter bangsa.
Bila Anda belum memahami bagaimana cara mendidik mental dan psikologis pemain usia dini dan muda, maka terus  belajarlah. Sebab, mengajar pendidikan anak usai dini (PAUD) di sekolah formal saja butuh lisensi Sarjana (minimal 4 tahun kuliah).
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI