Kualifikasi Pekan Olahraga Pelajar Wilayah Daerah (Popwilda) Jawa Barat  Wilayah 1 cabang sepak bola yang berlangsung sejak 27 Juni hingga 1 Juli 2019, siang ini berakhir.
Ironis dan miris
Namun ada hal yang sangat penting wajib diperhatikan oleh tim-tim di wilayah lain, khususnya di arena kualifikasi Popwilda Jabar 2019, khususnya bagi para pembina dan pelatihnya, dan umumnya bagi PSSI, Kemenpora, Dinas Pendidikan, Disporyata, dan seluruh pembina dan pelatih sepak bola usia dini dan muda, serta stakeholder terkait.
Hal yang sangat mencolok dan memprihatinkan dari pandangan mata saya di kualifikasi wilayah 1 ini adalah, hanya dalam tempo 5 hari, dari 9 pertandingan, 49 kartu kuning dan 4 kartu merah melayang.Â
Ironisnya, tim sepak bola Popwilda ini diisi seluruhnya oleh para pelajar kelahiran 2004/2003 yang masih dalam ranah pemain usia muda dalam pembinaan sepak bola nasional yang justru menjadi pondasi pemain-pemain nasional yang hebat di masa mendatang.
Bahkan yang lebih memiriskan hati, sebelum kartu kuning atau merah diberikan oleh wasit, sebelumnya senantiasa terjadi kericuhan antar pemain yang dekat dengan perkelahian masal.
Pertanyaannya, mengapa pemain usia muda yang rata-rata masih duduk di kelas 1 SMA/SMK ini sangat lemah mentalitasnya? Â
Sangat jelas hampir rata-rata pemain sangat lemah kecerdasan intelegensinya, makanya sangat lemah pula personalitinya. Akibatnya, dari sembilan laga, setiap kali benturan menjurus keras selalu menyulut kericuhan.Â
Bahkan ada pemain yang dalam pertandingan terlihat dendam membalas permainan kasar lawan, sang pelatih di pinggir lapangan justru tak terlihat memberi arahan dan menenangkan
Siapa yang harus bertanggungjawab bila melihat para pemain usia muda yang justru membawa bendera tim pelajar masing-masing kota/kabupaten lemah intelegensi dan personaliti? Sangat kontradiksi dengan label mereka sebagai pelajar.Â
Perilaku pemain yang lemah intelegensi dan personaliti ini, seharusnya menjadi prioritas utama yang digarap oleh para pembina dan palatih tim Popwilda. Bukan hanya masalah teknik dan speed.
Harus ada regulasi dari panitia Popwilda, mengingat yang dilatih dan ditangani adalah para pelajar, maka dalam pembentukan dan pelatihan tim, wajib terlibat kehadiran pendidik di dalamnya.
Bila hal ini tidak masuk dalam regulasi, maka kejadian kualifikasi wilayah 1 ini, tergaransi akan terulang di wilayah 2, 3, dan 4.
Setelah saya coba cek ke panitia pertandingan, bahkan tim pelajar yang masuk finalpun tak diisi oleh pembina dan pelatih yang berlatar belakang pendidik, maka pantas saja total 53 kartu (kuning dan merah) melayang.
Jalannya laga final
Melihat sepakterjang kedua finalis sejak babak penyisihan,  saya sudah memprediksi, laga akan mudah dimenangi oleh Tim Popwilda  Kabupaten Bogor.Â
Prediksi tersebut benar adanya. Kabupaten Bogor cukup menang dengan 1 gol kendati tiga pemain utamanya terkena akumulasi kartu. Sementara, Kota Depok hanya 1 pemain utama yang terkena kartu merah.
Andai kedua tim tampil dengan kekuatan penuh, bisa jadi Kabupaten Bogor akan lebih mendominasi, sebab dari keunggulan head to head pemain, teknik, intelgensi, personaliti, Â dan speed (TIPS) pemain asal Bogor lebih unggul.
Susah bagi Depok menembus pertahanan Bogor, sebab tim asal Kota Depok ini sangat minim pemain bernaluri pencetak gol.
Bila dalam regulasi, untuk babak final Popwilda tahun 2020, pemain kelahiran 2003 masih diperbolehkan bermain, maka tim Kabupaten Bogor tidak perlu tambal sulam pemain, tinggal.dibenahi masalah intelegensi dan personaliti pemainnya, karena meski menjadi juara, sepanjang babak kualifikasi, tim inilah yang paling banyak mengoleksi kartu kuning.
Untuk tim Depok, masih perlu bekerja keras, demi mengimbangi level Kabupaten Bogor yang banyak diisi oleh pemain dari Pusat Pendidikan dan Latihan Pelajar Daerah (PPLPD) Bogor.
Suporter orangtua tak mendidik
Hal lain yang juga memprihatinkan, saat laga-laga berlangsung, adanya sikap tak mendidik dari para superter yang ternyata adalah orangtua dari para pemain tim yang bertanding. Suporter ini justru melakukan intimidasi kepada wasit dan tim lawan dengan  kata-kata kasar saat berlangsung laga semifinal kedua karena tim anak-anaknya kalah.
Apa yang dilakukan sebagian suporter orangtua ini malah setali tiga uang dengan perilaku pemain di lapangan yang menghasilkan 53 kartu kuning/merah. Sangat tidak pantas terjadi dalam sebuah event sepak bola pelajar.
Seharusnya bila ada perilaku suporter yang mengintimidasi cenderung berkata-kata kasar kepada wasit dan tim lawan, maka tugas wasit tengahlah yang mengambil keputusan dengan menghentikan pertandingan sementara, lalu meminta kepada panitia penyelenggara untuk menertibkan suporter.Â
Untuk itu dalam kualifikasi wilayah lain, atau bahkan dalam pertandingan sepak bola dengan tajuk apapun, apalagi bila laga mempeetandingkan pemain usia muda, persoalan suporter yang tidak terdidik juga wajib menjadi prioritas perhatian.
Hal yang saya prihatinkan juga, masih dalam konteks pertandingan semifinal tersebut, karena timnya kalah, ada orangtua yang sangat kecewa kepada pelatihnya yang salah memainkan komposisi pemain dan salah menempatkan anak-anak mereka di posisi yang tidak biasanya.
Tak sia-sia rasanya, saya sengaja meluangkan waktu mengintip babak kualifikasi Popwilda dari babak penyisihan hingga babak final di Stadion Arcamanik Bandung ini. Hasilnya sungguh melengkapi persoalan pembinaan sepak bola usia dini dan muda yang terus menjadi benang kusut.
Tadinya saya berpikir bahwa, pertandingan Popwilda, maka akan ada garansi pertandingan yang pemain dan suporternya terdidik. Namun, ternyata, jangankan di pertandingan sepak bola usia dini dan usia muda antar Sekolah Sepak bola (SSB), di pertandingan sepakbola pelajar saja masih seperti demikian.
Jadi mohon menjadi perhatian, bagi Dinas Pendidikan maupaun Disporyata setiap Kota/Kabupaten, kejadian tak terdidik di kualifikasi sepak bola Popwilda wilayah 1, wajib menjadi pembelajaran.
Libatkan tim pembina dan pelatih dari kalangan pendidik/akademisi, cermati TIPS pemain yang jelas-jelas pelajar dengan cerdas, dampingi suporter agar santun di stadion. Maka, sepak bola berlabel turnamen pelajar dapat menjadi teladan bagi turnamen-turnamen sepak bola usia dini dan muda lainnya.
Fokuslah pada pembinaan intelektual dan personaliti baik pemain maupun orangtua, maka di dalam lapangan pemain berlabel pelajar akan cerdas berpikir dan cerdas mental/emosi. Pun sama halnya bagi suporter orangtua, akan santun dan menjadi teladan bagi anak-anaknya. Aamiin.
*Supartono JW.Pengamat sepakbola nasional, pengamat pendidikan nasional, dan sosial.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H