Haruskah sidang sengketa pilpres hari ketiga, Rabu, 19 Juni 2019 maraton, pagi hingga subuh?
Sidang yang agendanya mendengarkan keterangan saksi dan ahli dari pihak pemohon (paslon 02), ternyata hingga detik ini (20/6/2019: pukul 01.00 WIB) bahkan baru sampai pada keterangan saksi ke sekian.
Barangkali, di luar tradisi sidang di MK yang bahkan sering sampai subuh, seperti diungkapkan Ketua Majelis Hakim Bapak Anwar Usman saat diinterupsi oleh Yusril Ihza Mahendra dari pihak terkait (pengacara paslon 01), apakah budaya sidang "lembur" seperti ini perlu ditradisikan?
Semoga saja, semua yang terlibat dalam persidangan mulai dari Hakim Majelis, pihak pemohon, pihak termohon, pihak terkait, serta seluruh stakeholder terkait, diberikan kesehatan, tidak ada yang sakit, bahkan hingga jatuh korban karena kondisi kelelahan.
Harusnya, tragedi meninggalnya 554 Â yang terdiri dari KPPS, Panwas, dan Polisi harus meninggal karena pekerjaan yang "lembur" semacam sidang MK kali ini.
Harus ada yang mengingatkan bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam hal kesehatan.
Jangan gara-gara perseteruan pilpres, ranah persidangan di MK juga akan berdampak ikut terkena imbas ada korban.
Bukankah waktu bekerja dan istirahat semua sudah memahami? Berapa jam seorang manusia memiliki batas waktu bekerja atau beraktivitas, dan berapa jam waktu untuk istirahat yang cukup?
Memang sesuai peraturan, persoalan perseteruan, MK harus sudah menyelesaikan paling lambat pada 28 Juni 2019.
Nah, barangkali hal inilah yang juga perlu di tinjau untuk kedepannya. Waktu yang mepet dan terbatas untuk menyelesaikan sengketa pilpres, namun mengabaikan unsur kemampuan fisik manusia secara umum dari segi kesehatan.