Begitulah perkara yang terjadi setiap kali musim lebaran dan sudah mentradisi selama lima puluh tahun.
Boleh saja tradisi mudik lebaran Idul Fitra 1440 Hijriyah atau tahun 2019, telah mencatatkan kisah tersendiri. Hadirnya tol Trans Jawa lalu di tambah strategi sistem "One Way" (satu arah) di jalur tol cukup efektif memangkas kemacetan yang lalu dikait-kaitkan dengan narasi politik atas keberhasilan pemerintah.
Lalu, kisah mudik  lancarpun akhirnya menggema di seantero nusantara akibat jasa jalan tol.
Bagaimana dengan kisah baliknya? Ternyata kemacetan tetap menjadi narasi utama bukan?
Berapapun ruas jalan yang akan ditambah atau di bangun, namun, setiap musim arus balik, akan sulit terhindar dari perkara macet.
Persoalannya bukan hanya karena sebab, para pemudik melakukan proses balik yang bersamaan, namun setiap musim balik, jumlah urbanpun selalu meningkat tidak terkendali, terselubung bersama kaum urban sebelumnya.
Setiap tahun kaum urban telah dengan berbagai cara menyiapkan diri untuk mudik, ada yang membeli mobil atau motor baru, ada yang msnyewa, ada yang kredit, terpenting kendaraan dapat menjadi moda transportaai mudik dan balik pribadi, di luar transportasi umum, maka hasilnya, volume kendaraanpun tidak terkendali.
Jadi saat musim balik, kaum urban dan kendaraan yang mudik, tentu akan menjadi aktor utama untuk balik, di tambah kendaraan dan kaum urban baru. Itulah mengapa musim balik, kemacetan selalu lebih parah dari musim mudik.
Wacana pindah Ibu kota
Atas kondisi ini, meningkatnya urbanisasi yang yang tidak pernah dapat dikendalkan oleh pemerintah di setiap tahun musim mudik dan balik Lebaran, Â maka bila Presiden Jokowi kembali mewacanakan pindah Ibu Kota Republik Indonesia, boleh jadi akan menjadi sarana praktis memecah kebuntuan kisah kemacetan.
Namun, pindah Ibu Kota juga bukan perkara mudah. Karenanya, sejatinya pemerintah dan kota metropolitan dapat mencari pemecahan masalah tentang kisah balik yang selalu menambah jumlah urban.