Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Memupuk Simpati, Hindari Antipati

26 Maret 2019   12:52 Diperbarui: 26 Maret 2019   16:49 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilpres dan Pileg, pelaksanaannya tinggal menghitung hari. Acara debatpun sudah menjelang yang keempat. Lalu, kampanye terbuka juga sudah bergulir. Sementara di media cetak dan elektronik, masing-masing kubu, melalui tim pemenangannya yang diisi oleh para elit politisi, juga terus menggelorakan nasrasi-narasi berkonten meninggikan diri atau merendahkan lawannya. Saling sindir, saling serang, terus berorasi, berseteru, saling klaim, dan saling umbar janji.

Lebih ramai lagi saat Lembaga Survei juga turut andil memperkeruh suasana dengan melaporkan hasil surveinya yang lebih terkesan untuk mencari keuntungan sendiri. Rakyat banyak yang bertanya-tanya, mengapa Lembaga Survei terlihat begitu hebat melaporkan hasil surveinya yang seolah sangat valid, padahal hanya mengambil sampel/respondan berjumlah ribuan. Penduduk Indonesia yang kini sudah memiliki hak memilih itu, ratusan juta. Bagaiamana yang jumlah seribu atau duaribu responden dianggap mewakili Indonesia?

Belum lagi keberadaan Partai pengusung yang juga terus memberikan warna dengan narasi-narasi yang semakin memanaskan suasana. Ada pula partai baru yang numpang nama mendukung salah satu pasangan, padahal sekadar cari populer dan terlalu sering bernarasi seperti jagoan, merasa paling benar, miskin jam terbang dan prestasi, namun "sok" menilai paslon dan partai lain.

Rasanya, menjelang Pilpres dan Pileg, seluruh ruang di Republik ini, seolah hanya dikuasai mereka-meraka yang berpartai. Mereka-mereka yang ada dalam kancah politik. Lalu apapun yang diapungkan menjadi santapan empuk media yang memang pekerjaanya memberitakan sesuatu. Terlebih bila beritanya menyangkut hal negatif partai atau seseorang, pasti akan sangat laku dijual ke publik.

Pertanyaannya, mereka-mereka yang kini menjadi aktor utama dalam perseteruan Pilpres, dulunya mendapat pendidikan politik dari mana? Hingga tidak ada rasa malu kepada rakyat yang justru membiayai mereka bila mereka duduk di singgasana yang ingin direbutnya.

Berbicara  di sektor politik, sulit rasanya sekarang di Republik ini menemukan manusia yang cerdas dan pintar (smart), sekaligus baik (good). Memang, bukan rahasia bahwa menjadikan manusia cerdas dan pintar, boleh jadi mudah melakukannya, tetapi menjadikan manusia agar menjadi orang yang baik dan bijak, tampaknya jauh lebih sulit atau bahkan sangat sulit. Dengan demikian, sangat wajar apabila dikatakan bahwa problem moral di Indonesia kini merupakan persoalan akut atau penyakit kronis yang mengiringi hingga kini, hingga dalam Pilpres dan Pilegpun terus berseteru tanpa embel-embel baik dan bijak.

Jangankan para pengikut dan pendukungnya, para calonnya sendiri saja sudah tidak dapat dijadikan teladan. Saat calonnya membalas kritikan dari lawannya, tentu dianggap hal yang baik dan cerdas oleh para pendukungnya, namun di mata rakyat awam yang bisa jadi memilih golput, tentu sikap dan perilaku calon yang saling membalas dan saling menyindir bukan hanya dalam orasi dan pidato dalam kampanye atau berbicara di hadapan media, namun di ajang debat resmipun tetap dilakukan.

Apa kata-kata rakyat yang bersikap golput dalam Pilpres mendatang? " Siapapun Presidennya yang akan terpilih, tidak memberikan efek pada usaha, pekerjaan, dan kesejahteraan saya". "Sudah berapa Presiden memimpin Indonesia, namun kehidupan ekonomi kami tetap saja begini, harus berupaya sendiri, mencari sendiri, berjuang sendiri, untuk sekadar sesuap nasi!"

"Apalagi bila hanya memilih calon Legislatif, apa yang dapat mereka lakukan untuk warga sekitar. Semua yang terkait Pilpres dan Pileg, kini hanya mencari simpati untuk dipilih, namun saat sudah terpilih lupa, dan hanya menggunakan uang rakyat, seolah uang sendiri."

Belum lagi bagaimana mereka nanti harus menyetor dana ke partainya bila terpilih. Sudah cara untuk dipilihnya dengan berbagai model hingga rela berseteru, namun saat terpilih nanti, juga sering kali lupa diri dan berbuat sekehendak hati.

Sampai kapan tradisi dan karakter perpolitikan di negeri ini terus berulang, hingga tidak menyisakan sisi edukasi bagi rakyat yang terus terpupuk rasa antipati pada politik. Lebih khusus pada ajang Pilpres dan Pileg mendatang agar tidak golput!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun