"Sense of belonging" adalah istilah yang tepat untuk sebuah keadaan di mana kita merasa memiliki sesuatu.
Di negeri kita tercinta ini, rasa memiliki sedang dipertontonkan oleh para elit politik terutama para kandidat calon Presiden dan Wakilnya, serta para pedukungnya.
Karena rasa memiliki yang begitu dalam, luar biasa, maka para paslon dan pendukungnya pun dengan berbagai upaya, berusaha mempertahankan kedudukan Presiden Jokowi agar tetap memegang tahta pemerintahan untuk lima tahun berikutnya.
Sementara penantangnya, Bapak Prabowo dan pendukungnya pun berupaya keras untuk merebut tahta Jokowi, dan menjadi Presiden baru Republik Indonesia.
Kalau bukan karena rasa memiliki negara ini, mana mungkin mereka semua mau bersaing memperebutkan jabatan Presiden.
Namun perebutan tahta menjadi orang nomor satu di republik ini benar-benar melibatkan seluruh rakyat, khususnya yang sudah memiliki hak pilih/voters.
Jadi, siapapun yang nanti akan terpilih menjadi Presiden Indonesia yang baru, benar-benar karena dipilih langsung oleh rakyat. Karenanya rasa memilikipun tidak hanya terbatas pada para paslon, tapi juga dirasakan oleh seluruh rakyat, bahwa negeri ini memang harus dipimpin oleh Presiden yang ditentukan oleh rakyat, dari, untuk, Â dan oleh rakyat.
Lalu kira-kira apa perbedaan rasa memiliki untuk menentukan sikap menjadi pemilih atau yang akan dipilih menjabat menjadi Presiden dan menjadi pejabat PSSI, pengurus Asprov dan Klub di Indonesia?
Dalam kasus sepakbola. Meskipun seluruh rakyat dibelahan dunia manapun juga mencintai dan merasa memiliki sepakbola di negaranya, namun, rasa memiliki mereka hanya terbatas sebagai suporter dan penonton, karena kepemilikan sepakbola itu penentunya hanya voters sesuai aturan FIFA atau Federasi sepakbola di masing-masing negara.
Namun, jarang kita mendengar organisasi sepakbola di negara lain, sering kisruh seperti PSSI dan sepakbola di Indonesia.
Di Indonesia, PSSI dan orang-orang yang mengendalikan sepakbola baik di PSSI daerah maupun klub, sepertinya sudah seperti raja. Sepakbola hanyalah milik PSSI dan para voters.
Mereka begitu mencintai sepakbola hingga terlupa bahwa mereka adalah personal yang diamanahkan negara dan rakyat untuk membuat sepakbola nasional berprestasi.
Sayang para Pengurus PSSI pusat, daerah, dan pengelola Klub, terlalu mencintai sepakbola demi keuntungan pribadi dan kelompoknya, bukan untuk kepentingan bangsa dan negara.
Sampai kapan mereka begitu mencintai yang bukan hanya milik mereka sendiri. Mereka bahkan takut kehilangan yang bukan hak.
Seharusnya, ketika kita merasa memiliki, maka kita akan mencintainya, merawatnya, dan menjaganya. Lalu, memiliki dengan dasar kebersamaan. Memiliki dengan dasar berbagi. Memiliki dengan dasar kesadaran, sadar bahwa bukan hanya mereka yang berhak memilikinya.
Sampai kapan, sepakbola nasional hanya menjadi milik mereka? Yang luar biasa rasa memilikinya, hingga lupa diri dan tidak peduli kanan kiri yang senantiasa mengawasi?
Rasa memiliki yang menguasai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H