Selama ini publik sepakbola nasional menyebut bahwa olahraga sepakbola itu seksi. Sehingga, organisasi bernama Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), yang memiliki kepanjangan tangan di seluruh Provinsi Indonesia bernama Asosiasi Privinsi (Asprov) dan di tingkat Kabupaten/Kota bernama Asosiaasi Kabupaten/Kota (Askab/Askot) kerap dianggap sebagai kendaraan politik bagi para calon/pejabat yang mengurusnya.
Demi mendapat banyak mendapat suara pendukung, maka jalur menjadi pengurus sepakbola dianggap pas, sebagai jalan meraih sukses di ranah politik.
Namun, faktanya, hingga kini, para pengurus organisasi sepakbola yang terjun ke dunia politik memang secara alami tak berterima di ranah publik. Sebab, publik pecinta sepakbola nasional memang menghendaki bahwa sepakbola nasional jangan dikaitkan dengan politik. Walaupun sejarah berdirinya PSSI berlatar belakang politik.
Sepakbola adalah olahraga. Sportivitas. Memang ada intrik dan taktik, tapi bukan untuk sarana dan wadah berpolitik. Bila selama ini para pengurus yang menjabat di PSSI pusat maupun daerah mengiringinya dengan langkah politik, maka sudah barang tentu akan ditinggalkan publik.
Sayang, ketika publik wanti-wanti agar sepakbola jauh dari dunia politik, terutama untuk para pengurusnya, kini di media sosial telah terpublikasi bahwa ada kelompok suporter sepakbola, yang bahkan secara struktural mendukung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden untuk Pemilu 2019.
Kalau suporter sudah ikut berpolitik, bagaimana sportivitas di sepakbola ke depannya? Sementara, tanpa aroma politik saja, suporter sudah terbiasa rusuh, saling bermusuhan, tawuran, hingga sudah memakan ratusan korban sesama manusia Indonesia yang secara kebetulan menjadi pembela kesebelasan masing-masing daerahnya.
Atas fakta adanya kelompok suporter yang kini mencoba berpolitik, Ketua Umum PSSI, Edy Rahmayadipun bersikap. Menurut Edy, sah-sah saja bila suporter memberikan dukungan kepada salah satu pasangan. Namun, pria berusia 57 tahun ini menegaskan PSSI dalam hal ini bersih dari campur tangan politik.
Edy menambahkan."Ya silakan saja. Tapi saya yakin PSSI ini bukan urusan politik ya," kata mantan Pangkostrad TNI ini.
"Yakinkan PSSI masih banyak yang kita harapkan untuk jadi juara dulu. Apa itu Pilpres, Pileg, PSSI ini adalah Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia," imbuh Edy.
Kendati seluruh publik sepakbola Indonesia dan bahkan seluruh rakyat Indonesia mengetahui bahwa Edy justru menjadi inspirasi bagi para suporter yang sekarang juga turut serta terjun ke politik, sebab meski tetap menjabat Ketua Umum PSSI, kini juga menjabat sebagai Gubernur melalui jalur politik juga. Bila Bapaknya sepakbola memberi contoh berpolitik, maka anak-anaknya (baca:suporterpun) ikut-ikutan berpolitik.
Buntut dari Pilkada DKI saja, setelah dua tahun, hingga kini suasananya terus memanas. Bahkan dalam satu keluarga dan saudara saling bermusuhan, terlebih antar sesama warga yang berbeda dukungan. Media sosial tetap menjadi primadona dalam rangka saling lempar perseteruan tersebut.
Sementara, dalam sepakbola, tanpa politik saja, mengelola sepakbola nasional sudah seperti mengurai benang kusut. Ini ada lagi suporter berpolitik. Berpolitik adalah hak setiap warga negara Indonesia. Namun, hendaknya politik jangan dibawa ke ranah sepakbola atau olahraga apapun. Biarkan olahraga tetap fairplay, sportivitas dijunjung demi persatuan bangsa dan negara.
Mau di bawa ke mana sepakbola nasional bila sudah bercampur dengan politik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H