Menyisakan satu laga, meladeni Filipina, Timnas Indonesia yang sudah tersingkir tetap harus menunjukkan tajinya, jangan sampai kembali mempermalukan diri takluk dari lawan pada laga pamungkas, Minggu, 25 November 2018 di SUGBK.
Terlepas dari kondisi Timnas yang boleh dibilang gagal total di Piala AFF kali ini, sebab tak mampu lolos dari fase grup, padahal  Penggawa Garuda ditargetkan menjadi juara, publik semakin sedih dengan sikap dan ucapan pentolan organisasi PSSI.
Sekjen PSSI hanya menyikapi bahwa publik harus melihat Timnas itu bukan hanya 1, tetapi Timnas itu ada 7, terbaru, giliran sang Ketua Umum Edy Rahmayadi bilang kalau kegagalan Timnas itu karena wartawannya tidak baik. Bahkan, berikutnya, Edy juga menambahkan kalau beliau juga "capek"
Tisha ini bicara seakan PSSI tetap dia anggap berhasil, karena Timnas U-16 berhasil meraih trofi Piala AFF 2018.
Apa yang diungkap Tisha benar-benar cerminan kekacauan yang sangat nyata di tubuh pengurus olaraga yang sangat dicintai seluruh publik Indonesia. Sangat menyedihkan dan memprihatinkan. Bukannya rendah hati mohon maaf atau langsung saja mengundurkan diri dari pengurus, malah terus mencari pembenaran dan pembelaan.
Semua rakyat pecinta sepkbola nasional tahu. Prestasi sepakbola itu, ya prestasi Timnas seniornya. Ranking FIFA juga diukur karena prestasi Timnas seniornya bukan Timnas yang lain. Terlebih, prestasi Timnas U-16 juga bukan hasil pekerjaan PSSI. PSSI tidak membina, hanya mwngumpulkan pemain dari liga sepakbola swasta.
Lebih parah sikap dan pernyataan sang Ketua. Terlihat jelas bahwa dengan kata-kata atau ujarannya saat ditanya wartawan, benar-benar membikin publik sepakbola nasional miris.
Sudah Timnas tersingkir, bukan minta maaf dan mengundurkan diri, malah menyalahkan pihak lain. Lalu, bilang pusing dan capek.
Setali tiga uang. Bima Saktipun masih berharap menjadi pelatih Timnas dengan selalu menyatakan posisinya sebagai pelatih diserahkan ke federasi yang memutuskan, walaupun telah gagal.
Bila sepakola nasional selalu diisi oleh personal-personal yang tak tahu malu. Maka, sampai kapanpun sepakbola nasional akan mundur.
Mereka-mereka tetap tebar senyum, berani berargumen, tidak peduli, meski telah gagal membawa biduk PSSI yang lebih baik. Mereka tetap tenang dan nyaman, meski rakyat menghujat dan berharap mereka mundur, karena mereka dilindungi oleh statuta dan voters yang memilih mereka. Rakyat tak bisa menyentuh.