Pada 1993, Tavip bersama rekannya Herry Dim mementaskan motekar untuk menghibur anak-anak di Bandung. Awalnya Tavip memakai OHP. Tavip kemudian menemukan ide ketika lampu di rumahnya padam.Â
Sorotan lampu senter yang dipakai untuk menerangi kegelapan rupanya memberikan efek pantulan bayangan yang lebih baik ketimbang OHP. Pria kelahiran 27 Oktober 1964 ini tak menampik jika pertunjukan wayang dianggap kuno. Bahkan, yang sering terbayangkan wayang sebagai suatu pertunjukan yang jalan ceritanya sulit dimengerti.
Wayang Tavippun  sangat fleksibel dengan cerita yang dimainkan. Tidak melulu kisah Ramayana atau Mahabharata. Cerita yang disuguhkan kepada penonton, berdasarkan kekinian dengan peristiwa yang terjadi di tengah masyarakat. Bebas tergantung pesanan.Â
Dalam sejumlah penampilan, Tavip pernah menampilkan cerita-cerita yang berkembang di masyarakat mulai dari Si Pitung, Jacky dan Jeni hingga Sie Jin Kwie. Hal itulah yang membuat anak-anak menggemari wayang ini.Â
Di sela kesibukannya mengajar di ISBI Bandung, Tavip tetap mempertunjukkan wayangnya. Kepada mahasiswa maupun anak-anak Karang Taruna, dia berharap seni pertunjukan Wayang Tavip dapat dilanjutkan.
Wayang Tavip bukanlah wayang kulit tradisional. Jika wayang kulit hanya tampak berwarna ketika di depan layar, Wayang Tavip tampil berwarna baik di depan layar ataupun di balik layar.Â
Saat dimainkan di Teater Koma, Wayang Tavip dimainkan dengan berbagai gaya. Budi Ros, sang dalang, membawakan pertunjukan dengan gaya jemblungan, yang berarti musik atau gamelan dimainkan oleh mulut.Â
Gaya jemblungan ini pernah hidup dan populer dalam masyarakat Banyumas, Jawa Tengah. Sebagai wayang kreasi baru, Wayang Tavip tepat menjadi sarana hiburan yang menarik bagi para penikmat seni.
Melalui perkawinan pertunjukkan dengan Teater Koma sejak tahun 2010, hingga kini menampilkan Beringin Setan dengan Budi Ros, Wayang Tavip, yang lahir dari rahim modernitas, ini menghadirkan pementasan yang sangat kental dengan bahasa visual. Permainan tata cahaya menjadi sangat penting karena memberikan dampak psikologis kepada para penontonnya.
Wayang Tapiv tak perlu pakem yang ketat dalam pementasannya, karena isi cerita atau lakon mengalir sesuai dengan tema terkini. Tavip yang juga pengajar di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung ini, berani menjadikan 'Wayang Tavip' untuk menyelesaikan pendidikan karena dorongan beberapa teman seniman, terutama setelah dirinya terlibat dalam garapan Teater Koma. Imbas dari keterlibatan garapan tersebut membuat Wayang Tavip dikenali masyarakat kesenian di Indonesia.Â
Tidak mengherankan apabila saat ini di beberapa daerah di Indonesia bermunculan sanggar yang menggunakan Wayang Tavip. Beberapa dalang juga menggunakan Wayang Tavip sebagai bagian dari pementasan wayangnya. Begitupula sekolah yang telah menjadikan Wayang Tavip sebagai ekstrakulikuler dan penelitian para mahasiswa. Sebuah perjuangan yang tidak sia-sia.