Asian Games dan Piala AFF 2018, bagi konstestan sepak bola wanita negara lain, tentu banyak yang memasang target juara. Bagi timnas sepak bola wanita Indonesia, yang justru akan menjadi tuan rumah event tersebut, jangankan berpikir target juara, persoalan elementer menyangkut standar pemain timnas saja masih selalu mengudara.
Barangkali, yang paling realistis, adalah pelatih menyiapkan saja tim yang betul-betul siap untuk tidak kebobolan banyak gol. Coba tengok apa yang terjadi dengan persiapan timnas sepak bola wanita.
Dua hari yang lalu, Sekretaris Jenderal (Sekjen) PSSI, Ratu Tisha Destria berkomentar atas penampilan Tim Nasional Wanita Indonesia setelah meraih kemenangan atas Legenda Timnas Indonesia di Lapangan C, Kompleks Gelora Bung Karno (GBK), Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (5/4/2018). Kok melawan Legenda Timnas? Apa maksud dan tujuannya!
Menurut Tisha, penampilan anak asuh Satia Bagdja Ijatna tersebut masih belum maksimal dan berharap mereka dapat berlatih lebih serius lagi. Saya tidak bisa banyak komen untuk pertandingan ini karena sifatnya persahabatan. Tapi hal yang harus digaris bawahi timnas sepak bola wanita harus berlatih sekeras bertanding. Mereka harus lebih kencang dan serius lagi.
Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri
Apa yang diungkapkan oleh Tisha, sejatinya bak peribahasa Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri, artinya Tisha justru sedang membuka borok sendiri. Borok bahwa selama ini PSSI tidak pernah serius membina, melatih, dan memutar kompetisi sepak bola wanita. Yang sama halnya bagaimana pembinaan, pelatihan, hingga kompetisi sepak bola akar rumput terlantar. Padahal PSSI punya kepanjangan tangan resmi di setiap provinsi, kabupaten, dan kota di seluruh Indonesia.
Bangkitnya sepak bola usia muda, dalam hal ini timnas U-16, U-19, dan U-23, apakah karena pengelelolaan PSSI yang berjenjang dan berkesinambungan? Karena keterlibatan swasta turun gunung mengadakan kompetisi!
Bagaimana timnas sepak bola wanita akan diisi pemain handal yang mumpuni dalam teknik, intelegensi, personaliti, dan speed bila mereka tidak dibina, dilatih, lalu berkompetisi secara reguler?
Timnas Wanita comot pemain?
Terus mengandalkan program comot pemain dan turnamen instan demi sebuah kewajiban membentuk timnas, adalah tabiat PSSI. Hasilnya, mengapa justru Sekjen-nya berbicara seperti itu?
Sementara pelatih timnas juga teriak-teriak tentang kondisi pemain yang sangat lemah dalam fisik (speed) dan teknik (skill). Ini bukan pekerjaan semudah membalik telapak tangan. Tidak mungkin pelatih tiba-tiba menyulap pemain menjadi wonder women kuat fisik dan pintar teknik dalam sekejap pemusatan latihan.