Dari pihak La Nyalla, fakta yang diungkapkan ke publik adalah sejak kepengurusan Pak Djohar Arifin Husin dari tahun 2011 sampai 2013, ternyata memiliki utang ke beberapa pihak. Utang tersebut termasuk gaji pelatih, wasit dan lain-lain. La Nyalla yang dipercaya untuk mendampingi Djohar dan menjabat sebagai Wakil Ketua Umum, mulai menalangi kebutuhan dana untuk PSSI ketika federasi tersebut kesulitan cashflow.
Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI  2013 adalah tonggak yang disebut, La Nyalla mulai mengeluarkan dana talangan untuk PSSI. Di era Djohar semua dana talangan dari La Nyalla tercatat  melalui dari perjanjian pinjaman. Sedangkan di periode 2015 hingga 2016, di era Pak La Nyalla sebagai Ketua Umum, perjanjian pinjaman ditandatangani oleh Erwin Dwi Budiawan selaku wakil dan sekjen Azwan Karim.
Bahkan angka utang juga tertulis dalam surat pengakuan utang yang diterbitkan PSSI pada 22 November 2017 yang ditandatangani sekjen Ratu Tisha. Sementara, surat pengakuan utang oleh Liga Indonesia tertanggal 30 September 2016 ditandatangani Joko Driyono selaku direktur. Dan persolaan utang menjadi clear diakui PSSI, berdasarkan Surat tertanggal 13 Februari 2017 yang ditandatangani  Ketua Umum Edy Rahmayadi.
Bila PSSI di bawah kepengurusan Edy sudah final mengakui adanya utang kepada La Nyalla, yang menjadi pertanyaan adalah bagaiamana perjanjian berikutnya, hingga La Nyalla masih terus menagih PSSI? Biarlah ini menjadi urusan PSSI dan La Nyallla.
Namun, pertanyaan yang sangat mendasar adalah mengapa PSSI yang saat itu bergelimang pemasukan, sampai harus berutang? Ke mana saja larinya pemasukan uang PSSI? Padahal, pemasukan dari sponsor bisa puluhan miliar rupiah. Misalnya saja dari literasi yang dapat dipertanggungjawabkan, pemberian hak siar dari stasiun televisi pada era kepemimpinan PSSI Djohar Arifin. Dalam kurun waktu tiga tahun, keuntungan peliputan untuk kepentingan timnas senior saja mencapai Rp180 miliar bersumber dari hak siar RCTI, sementara timnas U-19 berkisar Rp20 miliar-Rp 30 miliar dari hak siar SCTV.
Sementara, saat itu gaji pengurus PSSI terbilang kecil jika dibandingkan dengan pemasukan yang diterima. Gaji pengurus sebelum PSSI dibekukan oleh pemerintah sekitar Rp1 miliar per bulan, atau cuma Rp12 miliar setahun. Ini menunjukkan keuangan PSSI seharusnya sangat sehat.
Inilah masalahnya bila pengelolaan keuangan PSSI laporannya tidak transparan disampaikan ke publik, padahal Singapura dan Malaysia pesaing terdekat timnas, sudah menerapkan pelaporan keuangan secara online. Laporan keuangan ditayangkan di website, dapat diakses publik apalagi terkait dengan sumbangan dari negara. Hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait dengan dana sumbangan pemerintah ke PSSI sepanjang 2010-2014 bermasalah.
Pada 2010, misalnya bantuan dana sebesar Rp 414,9 juta dari Kemenpora untuk laga timnas di AFF dan AFC tidak sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati dan pajak penghasilan yang dibayarkan kurang setor sebesar Rp176,8 juta. BPK menilai PSSI melakukan pemborosan dari sumbangan dana yang diberikan pemerintah sebesar Rp 20 juta.
Untuk pembayaran gaji/honor dan fasilitas hidup pelatih dan asisten pelatih timnas juga terjadi salah hitung oleh bendahara PSSI. Jumlah yang seharusnya dibayarkan Rp 287,2 juta tetapi dikucurkan Rp318,6 juta sehingga terjadi kelebihan bayar Rp 31,4 juta. Bagaimana pelaporan penggunaan dana sumbangan FIFA, AFC, dan anggota PSSI? Juga tidak ada transparansi!
Namun, ternyata, fakta yang justru diungkapkan ke publik adalah kepengurusan Pak Djohar yang sejak 2011 sampai 2013, ternyata malah memiliki beban utang ke beberapa pihak. Barangkali masih mungkin, mendalami mengapa PSSI harus berutang ke La Nyalla, ke mana uang PSSI saat itu?Â
Dan pada akhirnya, ayolah PSSI, segera bersikap seperti Singapura dan Malaysia yang sudah menerapkan pelaporan keuangan secara online ke publik. Bila transparansi keuangan segera diketahui publik, peristiwa utang yakin tidak akan terulang. Yang pasti secara kasat mata, publik sudah mengetahui pemasukan-pemasukan uang yang mengalir ke kantong PSSI sejak PSSI di jabat Edy Rahmayadi.