Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggiatkan Budaya Mendengar!

31 Maret 2017   11:17 Diperbarui: 1 April 2017   06:32 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semoga aksi demonstrasi yang terkenal dengan sebutan 411, 212, hingga 313, menjadi pencerahan kita semua. Aksi tersebut adalah bagian dari komunikasi. Jika komunikasi yang kita lakukan berjalan dengan baik maka orang lain akan mengerti apa yang kita inginkan, bicarakan atau bahkan mereka akan mengerjakan apa yang kita inginkan. Selain itu kita pun dapat mengetahui apakah informasi yang kita sampaikan, apa yang kita butuhkan, dan sebagainya mereka dengar?

Aksi demostrasi tersebut adalah wujud nyata dari praktik demokrasi di negeri ini, yang dilindungi oleh Undang-undang.  Bagaimana sampai aksi tersebut terjadi? Di manakah  tokoh-tokoh dan masyarakat yang turut dalam aksi tersebut dulunya belajar tentang keterampilan berbicara dan mendengar? Tentu di bangku sekolah bukan? Coba kita kembali tengok apa yang terjadi dengan pembelajaran keterampilan berbahasa di sekolah.

Kurikulum pengajaran pelajaran bahasa Indonesia di kelas-kelas SD, SMP, SMA, hingga Perguruan Tinggi di Indonesia, kendati berkali berganti baju, tetap berdasar kepada empat keterampilan berbahasa. Empat keterampilan berbahasa secara runtut adalah mendengar, berbicara, membaca, dan menulis. Tidak dapat dibolak-balik dalam penyusunan silabus dan rencana pengajaran?

Pun penulisan dalam rapor ataupun penilaian, tetap sama, yaitu mendengar, berbicara, membaca, dan menulis? Urutan keterampilan berbahasa tersebut, bila dianalogikan sama dengan proses bayi lahir. Sesuai kodratnya, ketika pertama seorang bayi lahir dari rahim ibunya, hal pertama yang akan terjadi pada si bayi adalah menangis, sekaligus menandakan bahwa si bayi lahir normal.

Mengapa si bayi menangis? Sembilan bulan bayi ada dalam kandungan ibunya, maka si bayi terbiasa dengan situasi dalam rahim, suhu hangat.  Maka ketika, bayi kemudian ke luar dari rahim dan merasakan suasana dan suhu yang berbeda dengan di dalam rahim ibu, maka sepersekian detik, si bayi langsung melakukan proses mendengar.

Telinga si bayi langsung mendengarkan situasi dan suasana yang berbeda dengan di dalam rahim. Kulit bayipun langsung menerima rangsangan suhu yang berbeda. Saat itu, bayi melakukan proses keterampilan mendengar melalui telinga dan rangsang pada kulit, karena situasi yang berbeda. Bayi langsung menangis sebagai reaksi ketidaksiapan atas situasi yang berbeda. Pada saat menagis itulah, Ibu dan dokter, langsung bahagia, karena bayi lahir normal.

Saat bersamaan, bayi langsung melakukan kegiatan keterampilan berbahasa berbicara (menangis). Lambat-laun, mata bayi yang tadinya tertutup, akan terbuka, dan dapat mengenali wajah ibunya, bapaknya, dan orang-orang terdekatnya. Ketika itu, bayi melakukan kegiatan keterampilan membaca (melihat, mengamati, memperhatikan, dll). Kemudian bayi menjelma menjadi anak dan cukup umur untuk masuk bangku Taman Bermain/Taman Kanak-Kanak/Sekolah, maka  anak melakukan kegiatan ketermapilan menulis. Itulah analogi keterampilan berbahasa seperti proses kelahiran bayi yang tidak dapat dibolak-balik urutannya.

Bagaimana kenyataan yang ada pada masyarakat bangsa ini dari segi keterampilan berbahasa? Dari berbagai fakta, kaum terdidik, kaum elit, kaum terpelajar, dan tokoh-tokoh di negara ini lebih banyak melakukan aksi keterampilan berbahasa berbicara dan menulis. Sementara keterampilan mendengar dan membaca justru lebih banyak ditinggalkan.

Yang lebih ironis, selain masyarakat bangsa ini tidak gemar dan tidak suka menjadi pendengar yang baik, masyarakat kita pun jauh dari gemar membaca, hingga Kemendikbud meluncurkan program membaca sepuluh menit. Keterampilan mendengar dan membaca adalah pintu utama, masuknya ilmu pengetahuan dan pendidikan bagi seseorang, yang sekaligus akan menunjukkan bahwa seseorang tersebut, terdidik atau tidak ketika melakukan aktivitas keterampilan berbahasa mendengar dan membaca.

Apa artinya, Allah  menciptakan manusia dengan memiliki satu mulut dan dua telinga? Itu mengisyaratkan bahwa manusia harus sering mendengar daripada berbicara. Dari hiruk pikuk yang terjadi, kegaduhan, kekisruhan, berbagai bidang,  pemimpin dan wakil rakyat kita, lebih banyak tidak mendengarkan aspirasi rakyat. Mereka lebih unjuk keterampilan berbicara!

Di lingkungan yang lebih kecil, di rumah, banyak orangtua yang tidak mendegarkan keinginan dan cita-cita anaknya. Di sekolah, Pemimpin tidak mendengarkan inspirasi Guru. Guru tidak mau mendengarkan,  mengabaikan keinginan dan keluhan peserta didiknya.

Intinya, di semua situasi tersebut, pihak yang merasa lebih superior/berkuasa lebih mau didengar dan mendominasi pembicaraan tanpa mau bergantian mendengar. Kata-kata yang mendomonasi biasanya seperti, tolong dengarkan! Jangan ribut! Bisa diam tidak! Yang berisik silakan ke luar kelas/ruangan ini!

Selain itu, di tengah menjamurnya gadget dan smartphone saat ini budaya mendengar yang berarti juga menyimak semakin luntur. Ketika orang-orang berkumpul, mereka sibuk dengan gadget dan smartphone nya. Ada orang yang mengajak bicara, mungkin dia mendengar tapi kurang menyimak karena dia membagi perhatian dengan aktivitasnya di dunia maya.

Kini, orang-orang juga lebih asyik berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga peribahasa dekat tapi jauh, jauh tapi dekat, muncul. Dalam sehari semalam tidak terhitung berapa kali orang updateatau mengecek statusnya di media sosial. Ada kalanya dia lebih akrab berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya.

Bahkan Presiden kita pun mencontohkan koppig (keras kepala) tidak mau mendengarkan masukan dan kritikan serta tetap menerapkan kebijakan yang sudah digulirkan namun banyak dipersoalkan. Ini bertolak belakang dengan konteks pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga atau instansi. Lembaga atau perusahaan tertentu, menyiapkan customer care atau kotak saran. Lembaga pelayanan publik yang mau mendengar dan menindaklanjuti keluhan pelanggan akan banyak disukai oleh pelanggan dan berkembang dengan pesat.

Menjadi pendengar yang baik bukanlah usaha yang mudah. Seseorang harus dapat bersikap objektif dan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh lawan berkomunikasinya. Mendengarkan dengan efektif membutuhkan konsentrasi, pengalaman dan keterampilan. Manfaat dari menjadi pendengar yang baik

Menjadi pendengar yang baik membutuhkan usaha dan latihan yang teratur. Langkah terpenting pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari bahwa mendengarkan seseorang berbicara adalah suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan keterampilan berkomunikasi yang lain seperti: berbicara, menulis dan membaca.

Mendengar adalah aktivitas sederhana tapi berdampak sangat baik dalam membangun relasi sosial yang positif antarmanusia. Orang yang mau mendengar identik dengan orang yang memiliki karakter baik, simpatik, dan empatik. Tipe-tipe orang seperti itu yang saat ini banyak disukai tapi sayangnya semakin langka.

Orang yang berjiwa pendengar adalah orang sabar, memiliki soft skill yang baik karena aktivitas mendengar itu kadang membosankan apalagi kalau yang datang padanya orang yang  protes.

Semoga kita semua bisa mengasah diri kita menjadi pendengar yang baik. Mari membudayakan diri untuk mau mendengar. Semoga bila ada lagi aksi-aksi yang akan terjadi, benar-benar bermanfaat untuk kepentingan rakyat dan umat serta di dengar lalu direalisasikan. (dari segi aspirasi).

Ada anggapan bahwa orang yang banyak bicara mencerminkan lebih pintar atau lebih menguasai permasalahan. Padahal belum tentu. Pribahasa mengatakan tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam. Banyak bicara tapi isinya tidak berbobot. Mari menggiatkan budaya mendengar, di semua sisi agar bangsa ini kembali ke arah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun