Intinya, di semua situasi tersebut, pihak yang merasa lebih superior/berkuasa lebih mau didengar dan mendominasi pembicaraan tanpa mau bergantian mendengar. Kata-kata yang mendomonasi biasanya seperti, tolong dengarkan! Jangan ribut! Bisa diam tidak! Yang berisik silakan ke luar kelas/ruangan ini!
Selain itu, di tengah menjamurnya gadget dan smartphone saat ini budaya mendengar yang berarti juga menyimak semakin luntur. Ketika orang-orang berkumpul, mereka sibuk dengan gadget dan smartphone nya. Ada orang yang mengajak bicara, mungkin dia mendengar tapi kurang menyimak karena dia membagi perhatian dengan aktivitasnya di dunia maya.
Kini, orang-orang juga lebih asyik berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga peribahasa dekat tapi jauh, jauh tapi dekat, muncul. Dalam sehari semalam tidak terhitung berapa kali orang updateatau mengecek statusnya di media sosial. Ada kalanya dia lebih akrab berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya.
Bahkan Presiden kita pun mencontohkan koppig (keras kepala) tidak mau mendengarkan masukan dan kritikan serta tetap menerapkan kebijakan yang sudah digulirkan namun banyak dipersoalkan. Ini bertolak belakang dengan konteks pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga atau instansi. Lembaga atau perusahaan tertentu, menyiapkan customer care atau kotak saran. Lembaga pelayanan publik yang mau mendengar dan menindaklanjuti keluhan pelanggan akan banyak disukai oleh pelanggan dan berkembang dengan pesat.
Menjadi pendengar yang baik bukanlah usaha yang mudah. Seseorang harus dapat bersikap objektif dan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh lawan berkomunikasinya. Mendengarkan dengan efektif membutuhkan konsentrasi, pengalaman dan keterampilan. Manfaat dari menjadi pendengar yang baik
Menjadi pendengar yang baik membutuhkan usaha dan latihan yang teratur. Langkah terpenting pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari bahwa mendengarkan seseorang berbicara adalah suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan keterampilan berkomunikasi yang lain seperti: berbicara, menulis dan membaca.
Mendengar adalah aktivitas sederhana tapi berdampak sangat baik dalam membangun relasi sosial yang positif antarmanusia. Orang yang mau mendengar identik dengan orang yang memiliki karakter baik, simpatik, dan empatik. Tipe-tipe orang seperti itu yang saat ini banyak disukai tapi sayangnya semakin langka.
Orang yang berjiwa pendengar adalah orang sabar, memiliki soft skill yang baik karena aktivitas mendengar itu kadang membosankan apalagi kalau yang datang padanya orang yang  protes.
Semoga kita semua bisa mengasah diri kita menjadi pendengar yang baik. Mari membudayakan diri untuk mau mendengar. Semoga bila ada lagi aksi-aksi yang akan terjadi, benar-benar bermanfaat untuk kepentingan rakyat dan umat serta di dengar lalu direalisasikan. (dari segi aspirasi).
Ada anggapan bahwa orang yang banyak bicara mencerminkan lebih pintar atau lebih menguasai permasalahan. Padahal belum tentu. Pribahasa mengatakan tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam. Banyak bicara tapi isinya tidak berbobot. Mari menggiatkan budaya mendengar, di semua sisi agar bangsa ini kembali ke arah!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H