Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Untuk apa sembuhkan luka, bila hanya tuk cipta luka baru? (Supartono JW.15092016) supartonojw@yahoo.co.id instagram @supartono_jw @ssbsukmajayadepok twiter @supartono jw

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menggiatkan Budaya Mendengar!

31 Maret 2017   11:17 Diperbarui: 1 April 2017   06:32 732
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Intinya, di semua situasi tersebut, pihak yang merasa lebih superior/berkuasa lebih mau didengar dan mendominasi pembicaraan tanpa mau bergantian mendengar. Kata-kata yang mendomonasi biasanya seperti, tolong dengarkan! Jangan ribut! Bisa diam tidak! Yang berisik silakan ke luar kelas/ruangan ini!

Selain itu, di tengah menjamurnya gadget dan smartphone saat ini budaya mendengar yang berarti juga menyimak semakin luntur. Ketika orang-orang berkumpul, mereka sibuk dengan gadget dan smartphone nya. Ada orang yang mengajak bicara, mungkin dia mendengar tapi kurang menyimak karena dia membagi perhatian dengan aktivitasnya di dunia maya.

Kini, orang-orang juga lebih asyik berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya. Hingga peribahasa dekat tapi jauh, jauh tapi dekat, muncul. Dalam sehari semalam tidak terhitung berapa kali orang updateatau mengecek statusnya di media sosial. Ada kalanya dia lebih akrab berinteraksi dengan teman-temannya di media sosial dibandingkan dengan orang-orang di sekitarnya.

Bahkan Presiden kita pun mencontohkan koppig (keras kepala) tidak mau mendengarkan masukan dan kritikan serta tetap menerapkan kebijakan yang sudah digulirkan namun banyak dipersoalkan. Ini bertolak belakang dengan konteks pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga atau instansi. Lembaga atau perusahaan tertentu, menyiapkan customer care atau kotak saran. Lembaga pelayanan publik yang mau mendengar dan menindaklanjuti keluhan pelanggan akan banyak disukai oleh pelanggan dan berkembang dengan pesat.

Menjadi pendengar yang baik bukanlah usaha yang mudah. Seseorang harus dapat bersikap objektif dan dapat memahami pesan yang disampaikan oleh lawan berkomunikasinya. Mendengarkan dengan efektif membutuhkan konsentrasi, pengalaman dan keterampilan. Manfaat dari menjadi pendengar yang baik

Menjadi pendengar yang baik membutuhkan usaha dan latihan yang teratur. Langkah terpenting pertama yang harus kita lakukan adalah menyadari bahwa mendengarkan seseorang berbicara adalah suatu kebutuhan yang sama pentingnya dengan keterampilan berkomunikasi yang lain seperti: berbicara, menulis dan membaca.

Mendengar adalah aktivitas sederhana tapi berdampak sangat baik dalam membangun relasi sosial yang positif antarmanusia. Orang yang mau mendengar identik dengan orang yang memiliki karakter baik, simpatik, dan empatik. Tipe-tipe orang seperti itu yang saat ini banyak disukai tapi sayangnya semakin langka.

Orang yang berjiwa pendengar adalah orang sabar, memiliki soft skill yang baik karena aktivitas mendengar itu kadang membosankan apalagi kalau yang datang padanya orang yang  protes.

Semoga kita semua bisa mengasah diri kita menjadi pendengar yang baik. Mari membudayakan diri untuk mau mendengar. Semoga bila ada lagi aksi-aksi yang akan terjadi, benar-benar bermanfaat untuk kepentingan rakyat dan umat serta di dengar lalu direalisasikan. (dari segi aspirasi).

Ada anggapan bahwa orang yang banyak bicara mencerminkan lebih pintar atau lebih menguasai permasalahan. Padahal belum tentu. Pribahasa mengatakan tong kosong nyaring bunyinya, air beriak tanda tak dalam. Banyak bicara tapi isinya tidak berbobot. Mari menggiatkan budaya mendengar, di semua sisi agar bangsa ini kembali ke arah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun