BERDASARKAN hasil riset Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Indonesia kehilangan 23--48 juta ton makanan yang terbuang (food loss and waste/FLW) per tahun sejak 2000-2019. Mayoritas makanan yang terbuang itu bersumber dari padi-padian dengan proporsi sebesar 44%, buah-buahan 20%, sayur-sayuran 16%, ikan 9%, makanan berpati 3%, buah biji berminyak 3%, daging 2% dan telur, susu, minyak serta lemak masing-masing 1%.
Sampah tersebut merupakan makanan yang tidak dimakan karena kelebihan pasokan.Â
Menurut Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi, jutaan ton sampah makanan itu seharusnya dapat menghidupi 61-125 juta orang Indonesia. Sumber Data Indonesia
Sementara itu, data dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, sampah sisa makanan sebesar 40,07%. Sampah jenis ini apabila tidak dikelola dengan baik dan benar akan berpengaruh pada pemanasan global melalui gas metan, kesehatan lingkungan dan pemborosan anggaran.
Laporan Kajian Food Loss and Waste di Indonesia (2021), hasil riset kolaborasi Kementerian PPN/Bappenas dengan Waste4Change dan World Resource Institute.
Laporan tersebut mengategorikan sampah makanan menjadi dua jenis, yaitu food loss dan food waste.
Food loss adalah pangan yang terbuang pada tahap produksi, pascapanen dan penyimpanan, serta pemrosesan dan pengemasan.
Kemudian food waste adalah pangan yang terbuang pada tahap distribusi dan pemasaran, serta sisa konsumsi.
"Dari tahap konsumsi ini, diestimasi sebesar 80% food waste berasal dari rumah tangga, dan sisanya sebesar 20% berasal dari sektor non-rumah tangga," kata tim Bappenas dalam laporannya.
"Sebesar 44% dari food waste yang ada merupakan sisa makanan yang layak makan," lanjutnya.
Selain menjadi pemborosan, sampah makanan juga menghasilkan emisi gas rumah kaca yang berdampak buruk bagi lingkungan.
Salah satu solusi kecil-kecil dan masif dapat dilakukan dengan membuat lubang biopori di sekitar pemukiman, kantor, sekolah, rumah ibadah. Lubang Biopori tidak memerlukan tanah luas karena satu lubang hanya memiliki diameter 3-4 inchi dengan kedalaman maksimal 1 meter dan tidak berbiaya besar. Bahkan, lubang-lubang biopori ini juga dapat menyerap air hujan, sehingga apabila dibuat dengan masif, dirawat dengan baik akan mengurangi volume air hujan yang masuk ke sungai.
Secara pribadi saya masih tergelitik dengan persoalan negeri ini. Mengapa dengan sumberdaya manusia dan sumberdaya finansial, tata kelola lingkungan, khususnya pada aspek pengelolaan sampah dari dahulu-kini tidak pernah tuntas. Akankah harapan demi harapan dari pemimpin nasional dan daerah terhempas seperti yang sudah-sudah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H