“Bapak dan Ibu tidak suka Mas bekerja sebagai tukang sampah”
“Mas mengerti bukan Bapak dan Ibu yang tidak suka. Tapi Sabrina malu jika kelak memiliki pendamping hidup tukang sampah. Sabrina malu pada teman-teman jika kelak punya suami bau sampah?”
“Sabrina tidak seperti itu Mas. Kelak, Sabrina akan mencintai Mas Munjab sepenuhnya. Apapun pekerjaan Mas Munjab, Sabrina tetap ikhlas. Asalkan itu pekerjaan itu halal”
“Jika Sabrina masih berat dengan pilihan pekerjaan ini. Lamaran itu akan Mas batalkan”
“Maafkan Sabrina Mas, Bapak dan Ibu itu tidak suka punya menantu tukang sampah”
***
Munjab mengumpulkan beberapa sampah sekitar kontarakkannya. Beberapa bulan ini pekerjaannya hanyalah bergelut dengan sampah. Semenjak lulus dari Teknik Lingkungan UI, pekerjaan Munjab hanyalah bergelut dengan sampah. Munjab sempat melamar pekerjaan sebagai PNS Pemda Jakarta, namun dia batalkan. Menjadi rahasia umum, menjadi PNS harus menggunakan uang sogok. Munjab memilih mundur dari peluang menjadi PNS.
Pekerjaan mengurus sampah adalah pilihan terakhir. Orang Jakarta sangat membenci sampah. Saking bencinya mereka membuang sampah sembarangan. Akhirnya bencana banjir setiap tahun melanda Jakarta. Tidak ada orang yang sedia mengurus sampah. Bagi sebagian orang, mengurus sampah adalah pekerjaan menjijikan. Semenjak kuliah di UI, Munjab telah melakukan riset pengolahan sampah. Riset yang dia lakukan terkait pengolahan dan pemanfaatan sampah bagi lingkungan.
“Munjab ini ada surat”
Lek Kardiman memberikan surat pada Munjab. Saat itu Munjab sedang mengumpulan sampah-sampah yang akan dikirim ke Bekasi. Munjab memisahkan sampah plastik, kertas, botol, dan beberapa sampah bekas makanan. Jika rencana berjalan lancar, Munjab akan mendirikan Pabrik pengolahan sampah di Bekasi. Walapun pabrik itu harus didirikan dari nol, Munjab yakin akan berhasil.
“Surat dari siapa Lek?”