Mohon tunggu...
Su Parmin
Su Parmin Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

RAMAH HUMORIS CERIA PENYAYANG

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Lelaki Sampah

10 Januari 2015   20:01 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:25 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Langit Jakarta nampak cerah dan indah. Nampaknya hari ini hujan tidak akan turun lagi. Angin pun berhembus pelan membawa kedamaian. Allah SWT telah menciptakan alam dengan sempurna. Tujuan penciptaan tersebut, agar menjadi pelajaran bagi umat manusia. Alam yang diciptakan-Nya hadir untuk menyempurnakan hidup manusia. Penciptaan alam semesta merupakan ayat kauniyah sebagai bukti kebesaran Allah SWT. Alam merupakan hadiah terindah yang diberikan oleh Allah SWT pada umat manusia. Jika alam dirusak maka kehancuran alam semesta tidak dapat dihindarkan. Tugas umat manusia adalah menjaga agar alam ini tetap lestari. Masa depan umat manusia ditentukan oleh kelestarian alam saat ini.

Beberapa tahun terakhir ini, alam mulai tidak bersahabat. Bencana datang silih berganti, datang dan pergi meninggalkan kesedihan. Bencana yang terjadi seharusnya menjadikan pelajaran buat umat manusia. Bisa jadi bencana yang hadir karena manusia lalai menjaga alam sekitar. Jika alam murka pada manusia ini hal yang wajar. Manusia menjadikan alam hanya untuk sekedar ekspolitasi ekonomi. Tidak ada itikat baik untuk terus menjaga alam yang ada. Alam yang seharusnya menjadi sahabat manusia, kini menemu titik paling rawan. Ada baiknya kita renungi sebuah tembang yang berjudul “Berita Kepada Kawan” dinyanyikan oleh Ebit G Ade, pada tahun 80-an.

“Perjalanan ini terasa sangat menyedihkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku, kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan di tanah kering bebatuan. Ohoo.ooo..ohooo, tubuhku terguncang dihempas batu jalanan. Hati bergetar menampa kering rerumputan. Perjalanan inipun seperti jadi saksi gembala kecil menagis sedih. Oho..ohooo..ohooo, kawan coba dengar apa jawabnya. Ketika ia tanya mengapa. Bapak ibunya telah lama mati. Ditelan bencana tanah ini. Sesampainya di laut aku kabarkan semuanya, kepada karang, kepada ombak, kepada matahari. Tetapi semua diam, tetapi semua bisu. Tinggalah aku sendiri terpaku menatap langit. Barangkali di sana ada jawabnya. Mengapa di tanahku terjadi bencana. Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau alam mulia enggan, bersahabat dengan kita. Coba kita tanya pada rumput yang bergoyang.......”

****

Munjab melangkahkan kakinya yang terasa berat. Dia pandangi langit Jakarta yang nampak cerah. Langit Jakarta nampaknya tersenyum ramah padanya. Namun hati Munjab masih tidak menyadari kehadiran langit yang tersenyum. Pandangannya terus menerawang melintasi batas-batas negeri. Entah apa saat ini yang membuat pikiran Munjab berkecamuk. Nampaknya Munjab sedang mengalami kegundahan hati. Munjab mengingat percakapannya dengan Sabrina Yumiko dua minggu yang lalu.

“Mas Munjab, Bapak ingin Mas jadi PNS”

“Sabrina, Mas tidak berminat jadi PNS”

“Kenapa Mas, ada yang salah dengan PNS?”

“Sabrina, biarkan saja orang lain yang jadi PNS. Mas akan tetap memilih pekerjaan Mas saat ini”

“Bapak dan Ibu tidak suka dengan pekerjaan Mas Saat ini”

“Sabrina, adakah yang salah dengan pekerjaan Mas?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun