Saat ini, kita sajikan berbagai tontonan atau pemandangan tentang dinamika ruang publik yang diwarnai dengan hingar bingar wajah lama maupun baru yang terus diproduksi oleh produsen harapan. Wajah-wajah ini bisa berupa wajah dalam arti apa adanya atau dalam metafora yang dapat diartikan sebagai produk maupun issue yang berkembang. Disebut sebagai produsen harapan, karena setiap tampilan dan gambaran yang ditawarkan selalu menawarkan kebaruan, keberlanjutan dan solusi yang mampu memberikan harapan baru akan masa depan.
Tentu hal tersebut menjadi wajar dalam atmosfir ruang publik yang didasari dengan pendekatan kebebasan berekspresi. Kebebasan yang hadir dari fitrah manusia akan kemanusiaannya. Kebebasan yang kemudian diikat dalam kebebasan yang dilindungi oleh undang-undang sebagai perekat ketertibannya. Melalui dinamika yang cukup panjang (pergumulan dari orde lama sampai dengan pasca reformasi) inilah kebebasan memberikan kemewahan bagi negara bangsa saat ini.
Situasi demikian tentu tidak hanya dipandang sebagai hal yang biasa, tetapi patut kita syukuri. Mensyukuri kebebasan yang tumbuh di negeri ini mestinya bisa diejawantahkan dalam aktivitas keseharian pada interaksi sosial dimana kita berada. Interaksi sosial yang humanis dari lingkungan terkecil sampai dengan lingkungan yang besar seperti negara bangsa. Interaksi sosial yang menghadirkan kenyamanan, saling silih asah, silih asah dan silih asuh yang merupakan local wisdom yang patut kita jaga kelestariannya.
Local wisdom yang di negara dan bangsa lain menjadi barang mewah. Mengapa barang mewah karena perbedaan suku bangsa dan agama di negara dan bangsa lain seringkali menjadi bibit konflik yang berkepanjangan atau menjadi stimulus bagi hubungan interaksi sosial yang kurang harmonis. Berbeda dengan negeri kita yang perbedaan tersebut merupakan anugerah dan kekayaan yang menjadi pembeda antara bangsa Indonesia dengan bangsa-bangsa yang ada di dunia. Sehingga kerukunan antar umat beragama mampu tumbuh dengan baik diberbagai wilayah Indonesia.
Kontestasi
Kontes atau perlombaan pada level, jenis, maksud tertentu juga merupakan bagian aktivitas sosial yang tumbuh dan berkembangnya dari sebuah kebebasan yang perlu kita elaborasi. Sebagai contoh pemilihan pimpinan kepala daerah yang saat ini sedang hangat-hangatnya terjadi di lingkungan sekitar kita. Kontes atau kontestasi pemilihan kepala daerah merupakan gelaran pesta rakyat sebagai kegiatan rutin setiap lima tahun sekali untuk memilih.
Mengapa menggunakan istilah kontes atau kontestasi, karena kontestasi atau perlombaan biasanya ada kemampuan, added value, kelebihan yang dimiliki oleh para pesertanya. Atribut yang melekat pada para peserta dalam kontestasi secara alami dapat dinilai, dipilih oleh para Dewan Juri (khalayak ramai). Disinilah kemampuan para peserta ditantang agar mampu mengeluarkan potensi yang dimilikinya, sehingga Dewan Juri (khalayak ramai) dengan detail mampu melihat kurang lebihnya. Poles memoles atau pencitraan sangat sulit untuk dilakukan karena atribut yang melekat sangat terbuka dipertontonkan kepada Dewan Juri (khayalak ramai). Â Â
Sudut pandang kontestasi ini dalam pelaksanaan kemungkinan besar akan memberikan gambaran yang begitu jelas dari para kontestan (peserta). Para pengusung peserta kontestasi juga seharusnya melihat peluang tersebut sebagai upaya melakukan pendidikan demokrasi kepada para Dewan Juri (khalayak ramai) Oleh sebab itu kontestasi kepemimpinan daerah yang dilakukan secara rutin sudah sepantasnya menghasilkan para pemimpin yang mampu memberikan solusi terbaik bagi daerah yang dipimpinnya. Tentu hal tersebut akan terjadi jika poles-memoles atau pencitraan bahkan pengerahan masa yang diiming-imingi harapan yang bersifat sementara tidak terjadi. Dengan demikian kontestasi yang sesungguhnya mampu menghadirkan para pemimpin yang secara atribut memang benar-benar memberikan solusi bagi masing-masing daerah.
Konten dan Konteks
Hadirnya para pemimpin hasil dari proses kontestasi yang baik tentu berpotensi besar menghasilkan para pemimpin yang baik pada level dan daerahnya masing-masing. Upaya menjadikan pola kontestasi sebagai salah satu proses kaderisasi dalam menjalankan keterbaruan kepemimpinan tentu menyesuaikan kebutuhan area atau lokasinya. Tak hanya itu saja, kebutuhan dan kebaruan maupun keberlanjutan akan eksistensi dan pertumbuhan daerah yang sangat variatif perlu juga menjadi pertimbangan. Oleh sebab itu, para kandidat tentu harus memiliki sense yang kuat dalam menawarkan gagasan yang kekinian dan konsisten dalam pelaksanaan melalui komitmen yang dibangun oleh para kandidat.
Jargon-jargon yang cenderung kamuflase dan pengerahan massa yang massif tentu boleh kita kritisi. Perkembangan zaman sudah semakin pesat, kecepatan, keterbukaan dan arus informasi yang begitu massif tentu menjadi modal yang cukup untuk mendorong adanya konsesus dari para pemangku kepentingan. Oleh karenanya pembelajaran dalam kontestasi ini juga menjadi tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Dengan kata lain pengerahan massa, money politic dan hal-hal yang kurang mendidik tentunya perlu kita ubah menjadi hal-hal yang baik. Konten-konten yang baik sebaiknya yang perlu diaplifikasi oleh para kandidat maupun para pemangku kepentingan. Ada banyak kearifan lokal di negeri ini yang mengimplementasikan pergantian kepemimpinan tidak selalu menggunakan uang semata. Kita bisa mengambil contoh dari pemilihan Ketua Rukun Tetangga (RT) atau Rukun Warga (RW) yang sangat sederhana dengan melihat kemampuan dan kerelaan para kandidat melayani warga setempat.
Permodelan seperti halnya pemilihan ketua RT dan RW tentu tidak sebanding dengan kompleksitas pemilihan setingkat Bupati/Walikota ataupun Gubernur. Banyak dimensi dan dinamika yang menggambarkan astmosfir pemilihan setingkat Bupati/Walikota ataupun Gubernur. Tetapi kita bisa menggambil nilai-nilainya, bagaimana kalau tidak sanggup menjaga amanah warga, bagaimana kesiapan siang dan malam kalau ada warga yang mengalami kesulitan ekonomi maupun kesehatan, guyubnya pada saat melaksanakan kerja bakti bersama. Dalam konteks ini kita bisa mengambil nilai dari setiap kontestasi pemilihan setingkat Bupati/Walikota ataupun Gubernur. Apabila permodelan tersebut mampu diaplifikasikan ke dalam area yang lebih besar maka potensi menghasilkan pemimpin yang sesuai dengan konten (kemampuan dan pengamalan) mampu memberikan manfaat yang besar pada masyarakat dalam konteks kekinian.
Gambaran tersebut diatas mungkin terasa utopis, tetapi jika setiap kita dan para pemangku kepentingan mampu mengesampingkan ego pribadi maupun golongan tentu bukan tidak mungkin bisa diimplementasikan. Sehingga kontestasi pemilihan atau pergantian kepemimpinan di daerah tidak seperti kontestasi busana atau fashion show, yang hanya dilihat sesaat keriuhan dan keramaiannya sesaat. Pada akhirnya masyarakat sebagai subjek pemilih malah tidak mendapatkan manfaat yang berarti. Semoga tidak demikian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H