Memandang foto wajah bapak yang nampak tersenyum
Seolah menggambarkan aura penuh warna
Hari ini atau kemarin penuh dengan catatan dalam diktum
Seperti sedang bercerita tentang harapan yang takkan sirna
Menyandar sadar pada akar yang dikelilingi pagar
Adalah kesadaran akan pakar di dunia nalar
Tak seperti akal yang mengepal tapal
Biarkan hati menerabas batas yang berliku lagi terjal
Akupun meratap mantap dan menatap penuh harap
Karena ruang akal menangkal paham yang nakal
Sedang rasa menemukan bahagia tanpa ratap
Lalu kenapa masih kau bersandar pada hal yang fatal
Sejenak akupun melihat gambar yang menampar sadar
Hamparan padi yang menebar terasa hambar
Karena esok mungkin hanya cerita pendek yang pudar
Mungkin sawah itu menjelma menjadi rumah mewah tertutup cadar
Keluasan menjadi kesempitan yang meradang setiap dinding
Pohon - pohon memohon agar tak lagi menjadi beton
Apa daya hasrat dan rasa tak mampu dibendung berbanding
Mereka keluar dengan keliaran monoton seperti siap ditonton
Gambaran fatamorgana seolah menjadi sandaran
Padahal batas pandang selalu memberi pelajaran
Menapaki jalan logika hanya akan membuka luka dan nyeri
Basuhlah dengan kalbu agar masa lalu selalu jadi jalu hari ini atau nanti
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H