Sebuah kisah
AKU TIDAK BISA NAIK MOTOR
Oleh: Supardi HR
    Namaku Arya Bima. ( Nama samaran , bukan nama asli ).Aku lahir 24 Maret 2003 di sebuah pinggiran kota Jakarta. Aku berasal dari Keluarga yang kurang mampu. Ayahku seorang ojek online, sedangkan ibuku seorang penjual kue jajanan pasar. Aku dua bersaudara. Adikku, Aisyah kini berusia 8 tahun. Sekarang duduk di kelas 2 Sekolah Dasar.
   Ayah dan ibuku selalu mengajarkan tentang kesedehanaan dalam kehidupan. Misalnya dalam hal berpakaian. Ibuku selalu membelikan baju seragam bekas untuk sekolah. Ketika tahun ajaran baru , teman-temanku memakai baju baru, sepatu baru dan tas baru. Lain dengan aku dan adikku. Aku dan adikku selalu memakai baju seragam ,dan sepatu bekas. Namun, aku tidak pernah iri dengan teman temanku di sekolah. Walaupun kadang ada  temanku  yang  mengejek. Tapi, aku abaikan apapun kata orang lain.
   Selain berpakaian, ibuku juga mengajarkan aku tentang makan. Ibuku bilang jangan ada makanan tersisa di piring ketika makan. Artinya setiap makan supaya dihabiskan.  Ambillah nasi secukupnya jangan berlebihan. Makanlah ketika lapar dan berhentilah sebelum kenyang. Aku dan adikku jarang  sarapan. Karena ibuku masak untuk makan siang atau makan malam.Namun, bersyukur aku bisa makan bersama bareng bapak dan ibu serta adikku setiap malam. Walaupun lauk dan sayur ala kadarnya, tapi nikmat.
  Sejak sekolah SD , SMP  aku selalu jalan kaki. Selain sekolahku dekat dengan rumah memang aku tidak bisa naik motor.  Bahkan ketika SMA pun aku trauma kalau naik motor. Waktu masih kecil, saat aku duduk di kelas 3 SD aku ditabrak motor. Entah dari mana asalnya seorang pengendara motor melaju dengan kencang. Ketika itu aku  berangkat ke sekolah. Aku berjalan di sebelah kiri Tiba-tiba ada motor  dari arah berlawanan kencang menabrakku. "Brak" aku terpental.  Aku Jatuh  dan luka di kaki dan tanganku. Sejak itulah aku trauma takut dengan orang yang mengendarai motor. Akibatnya sampai sekarang aku takut kalau naik motor. Bahkan tidak bisa mengendarai motor.
   Aku mempunyai cita-cita setelah lulus SMA aku ingin bekerja dan bisa membantu orang tuaku mencari nafkah. Agar keluargaku bisa hidup layak seperti tetangga yang lain. Dan ayahku bisa  mempunyai usaha sendiri  tidak jadi tukang ojek online lagi.
   Suatu hari ketika aku main ke rumah teman aku ditawari orang tua temanku bekerja di Jepang. Tawaran tersebut  tidak langsung aku terima. Karena pergi ke luar negeri,pasti perlu biaya yang banyak. Harus membuat visa,paspor dan lain lain yang tidak sedikit.Â
  Sesampainya di rumah aku ceritakan tawaran bekerja di Jepang tersebut ke kedua orang tuaku. Ibuku melarang aku pergi ke Jepang. Menyarankan bekerja di Jakarta saja. Sedangkan, ayahku mengijinkan aku untuk bekerja di Jepang. Bahkan , ayahku rela menjual motor satu-satunya  untuk biaya mengurus surat-surat yang di butuhkan. Seperti buat visa,paspor dan lain sebagainya. Ayahku tidak lagi ngojek melainkan kerja serabutan.
   Dengan modal nekat aku terbang ke Jepang. Di sana aku bekerja di sebuah pabrik. Aku ditempatkan di sebuah gudang. Walaupun dibilang pekerjaan berat aku tetap jalankan sesuai job yang diberikan oleh atasan.
   Kontrak selama 3 tahun aku bekerja di Jepang. Aku harus pulang kembali ke Indonesia. Tabunganku ada Rp 300 juta. Sebagai tanda terima kasihku  kepada ayahku yang telah menjual motor, aku belikan sbuah mobil. Dan uang sisanya aku berikan kepda ibuku.Â
   Kini aku bersyukur dan bahagia bisa hidup bersama lagi dengan ayah ibu dan adikku.
Bekasi, 8 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H