Tradisi Sosiopsikologis
Tradisi sosiopsikologis berpengaruh besar pada bagaimana kita berpikir tentang pelaku komunikasi. Penelitian psikologi sosial mencapai puncak kejayaannya pada awal Abad XX dan penelitian komunikasi yang terdahulu di Amerika, mengadopsi metodologi ilmu psikologi dan pendekatan individualistiknya terhadap kehidupan sosial manusia. Berikut ini teori-teori komunikator dalam tradisi sosiopsikologis:
Teori Sifat
Sifat adalah kualitas atau karakteristik pembeda, yang meliputi cara berpikir, merasakan, bertingkah laku yang konsisten terhadap situasi. Sifat-sifat tersebut seringkali digunakan untuk memprediksi perilaku. Penelitian di bidang komunikasi telah mempelajari berbagai jenis sifat. Contoh, dua sifat yang paling sering diteliti dalam komunikasi adalah pertentangan dan kecemasan berkomunikasi. Dua hal tersebut adalah sifat paling mendasar yang diteliti dalam tradisi teori sifat dan dihadirkan sebagai sebuah bentuk dasar mengenai bagaimana penelitian tersebut harus dilakukan.
Pertentangan (argumentativeness) adalah kecenderungan untuk ikut serta dalam percakapan tentang topik-topik kontroversial, untuk mendukung sudut pandang seseorang dan untuk menolak keyakinan yang berbeda. Dominie Infante dan koleganya meyakini, pertentangan dapat meningkatkan pembelajaran, membantu seseorang untuk memahami sudut pandang orang lain, mempertinggi kredibilitas dan membangun keterampilan berkomunikasi.
Individu yang suka pertentangan cenderung sombong, walau tidak semua orang sombong memiliki argumentatif. Untuk tidak menimbulkan salah persepsi, dibuatlah dua kelompok variabel: pertentangan yang merupakan sifat positif serta keagresifan verbal dan permusuhan yang merupakan sifat negatif. Dengan mengetahui cara menyanggah yang benar, menjadi solusi untuk mengatasi kecenderungan agresif yang sangat menyakitkan.
Kecemasan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi, ternyata banyak kasus ditemukannya banyak orang yang takut dan tidak suka berkomunikasi. Orang seperti ini mengalami namanya communication apprehension. Communication apprehension (CA) merupakan kecenderungan untuk mengalami kecemasan saat berkomunikasi dalam berbagai keadaan. CA yang tinggi jelas tidak normal, sebab menciptakan masalah-masalah kepribadian, termasuk kecemasan ekstrim dan penghindaran terhadap komunikasi dengan langsung mencegah partisipasi produktif dan memuaskan dalam masyarakat. Ketakutan berkomunikasi adalah bagian dari kelompok konsep yang terdiri atas penghindaran sosial, kecemasan sosial, kecemasan berinteraksi dan keseganan.
Sebagai sebuah kelompok, hal ini disebut dengan kecemasan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi (social and communicative anxienty/SCA). Menurut Miles Patterson dan Vicki Ritts, sejumlah parameter yang mengindikasikan seseorang mengalami SCA, yakni: mereka menemukan bahwa kecemasan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi memiliki aspek fisiologis, seperti detak jantung dan rona merah pipi karena malu, manivestasi perilaku seperti penghindaran dan proteksi diri serta dimensi kognitif seperti fokus diri dan pikiran negatif. Dan hubungan kognitif, adalah paling kuat dari ketiga parameter tersebut, yang bermakna bahwa kecemasan dalam berkomunikasi dan bersosialisasi sangat berhubungan dengan bagaimana kita berpikir tentang diri pribadi dalam hubungannya dengan situasi komunikasi.
Ada beberapa model faktor-sifat. Pertama, model faktor-sifat yang dipaparkan Digman. Model ini mengidentifikasi 5 faktor umum yang dalam sebuah kombinasi menentukan sifat setiap individu dengan lebih spesifik. Faktor-faktor tersebut meliputi: neuroticism atau kecenderungan merasakan emosi negatif dan kesedihan. Kedua, extraversion atau kecenderungan menikmati berada dalam kelompok, menjadi tegas dan berpikir optimis. Ketiga, openness atau kecenderungan menjadi reflektif, memiliki imajinasi, memperhatikan perasaan dari dalam hati dan menjadi pemikir mandiri. Keempat, agreeableness atau kecenderungan untuk menyukai dan menjadi simpatik kepada orang lain, ingin membantu orang lain serta menghindari permusuhan. Kelima, conscientiousness atau kecenderungan menjadi pribadi disiplin, melawan gerak hati nurani, menjadi teratur dan memahami penyelesaian tugas.
Contoh penerapan model-model faktor-sifat ini dapat digunakan unttuk menjelaskan berbagai perilaku dan karakter manusia. Misalkan, conversational narcissism, atau obrolan narsis mungkin dapat dijelaskan sebagai sebuah kombinasi dari neuroticism menengah, extraversion tinggi, oppeness rendah, agreeable rendah dan conscientiousness tinggi. Argumentativeness atau perdebatan bisa dipahami sebagai kombinasi rendahnya openness dan agreeableness serta tingginya conscientiousness. Kecemasan dalam berkomunikasi dapat mencakup neuroticism tinggi, extraversion rendah, openness rendah, agreeableness rendah dan conscientioussness rendah. Pendekatan sifat ini menawaarkan cara untuk memahami perbedaan perilaku manusia, tapi di sisi lain juga mengakui persamaan.
Menurut Michael Beatty dan James McCroskey, sifat adalah kecenderungan dari watak yang berakar pada susunan neurobiologis yang ditentukan secara genetis atau aktivitas otak. Menurut Beatty dan McCroskey, bagaimana seseorang merasakan dunia, sangat berhubungan dengan apa yang terjadi dalam otak seseorang dan sebagai akibatnya, sebagian besar ditentukan secara genetis. Menurut teori ini, pengaruh dari lingkungan atau pembelajaran, tidaklah terlalu penting dan perbedaaan setiap individu dalam bagaimana manusia berkomunikasi dapat dijelaskan secara biologis. Menurut mereka, semua sifat dapat dikurangi hingga menjadi beberapadimensi saja, yang sekitar 80 persen ditentukan oleh faktor genetis.
Teori Atribusi
Prinsipnya, bahwa setiap individu mencoba untuk memahami perilaku mereka sendiri dan orang lain dengan mengamati bagaimana sesungguhnya setiap individu berperilaku. Teori ini berkontribusi pada betapa pentingnya penilaian interpersonal. Penemu teori ini adalah Frietz Heider, menyebutkan sejumlah atribusi kausa yang umumnya dibuat setiap orang. Adapun semuanya mencakup: penyebab situasional (terpengaruh lingkungan), pengaruh pribadi, kemampuan (dapat melakukan sesuatu), usaha (mencoba melakukan sesuatu), hasrat (keinginan untuk melakukannya), perasaan (merasa menyukainya), keterlibatan (setuju dengan sesuatu), kewajiban (merasa harus), perizinan (telah diizinkan).
Heider menyebut bentuk persepsi individu dengan perceptual styles. Setiap situasi apapun memunculkan berbagai interpretasi yang masing-masingnya kelihatan nyata bagi orang tersebut, bergantung pada gaya hubungan orang tersebut. Menurut Heider, setiap orang ingin selalu tampil konsisten, maka mereka akan menyeimbangkan kewajiban dan nilai-nilai mereka, sehingga apa yang ingin mereka lakukan sesuai dengan apa yang mereka pikir seharusnya mereka lakukan. Dalam teori atribusi, terkenal istilah fundamental attribution error. Hal ini merupakan kecenderungan untuk menghubungkan penyebab dari kejadian menjadi sangat pribadi. Secara umum, kita tidak sensitif dengan banyaknya faktor keadaan yang menyebabkan kejadiaan saat mengingat perilaku orang lain, tapi kita sensitif pada keadaan saat mengingat perilaku kita sendiri.
Teori Penilaian Sosial
Berfokus pada bagaimana kita membuat penilaian mengenai pernyataan yang kita dengar. Muzafer Sherif dan koleganya memiliki karya mencoba memperkirakan bagaimana seseorang akan menilai pesan dari orang lain dan bagaimana penilaian ini akan berpengaruh pada sistem keyakinan seseorang. Semakin besar keterlibatan ego seseorang terhadap isu, rentang penolakan pun semakin besar, rentang ketidakterlibatan semakin kecil dan dengan begitu perubahan sikap yang diperkirakan lebih sedikit. Karena semua orang yang terikat dengan ego, sangat sulit untuk dibujuk. Mereka cenderung menolak pernyataan yang cakupannya lebih luas daripada orang yang tidak terikat dengan ego. Jadi rentang penerimaan dan penolakan seseorang dipengaruhi oleh sebuah variabel kunci, yakni keterlibat ego (ego involvement), yakni pemahaman tentang hubungan pribadi seseorang dengan sebuah masalah. Keterlibatan ego adalah sebuah konsep inti dalam teori penilaian sosial. Teori perluasan kemungkinan memperluas cakupan teori penilaian sosial dengan melihat pada perbedaan-perbedaan mengenai bagaimana kita membuat penilaian.
Teori Kemungkinan Elaborasi
Richard Petty dan John Cacioppo adalah tokoh-tokoh yang mengembangkan teori kemungkinan elaborasi (elaboration likelihood theory/ELT), mencoba memahami semua perbedaan yang ada. ELT adalah teori persuasi karena teori ini mencoba untuk memprediksi kapan dan bagaimana Anda akan dan tidak akan terbujuk oleh pesan. Teori ini mencoba untuk menjelaskan dengan cara berbeda di mana Anda mengevaluasi informasi yang Anda terima. Kadang juga, Anda mengevaluasi pesan dalam cara yang rumit, menggunakan pemikiran yang kritis, dan kadang-kadang Anda melakukannya dengan cara yang lebih sederhana dan cara yang kurang kritis.
Ada dua rute untuk mengolah pesan, rute sentral dan periferal. Elaborasi atau berfikir kritis terjadi pada rute sentral, sementara ketiadaan berpikir secara kritis terjadi pada rute periferal. Dengan demikian, ketika Anda mengolah informasi melalui rure sentral, Anda memikirkan secara aktif dan mempertimbangkannya berlawananan dengan yang telah Anda ketahui, Anda menanggapi semua argumen dengan hati-hati. Jika sikap Anda berubah hal tersebut mengarahkan Anda pada perubahan relatif kekal dan memengaruhi bagaimana Anda berperilaku sebenarnya.
Ketika kita mengolah informasi melalui rute periferal, Anda akan sangat kurang kritis. Perubahan apapun yang terjadi, kurang berpengaruh pada bagaimana Anda bertindak. Namun, karena kecenderungan elaborasi adalah sebuah variabel, Anda akan menggunakan kedua rute tersebut sampai taraf tertentu, bergantung pada seberapa besar keterkaitan personal isu tersebut terhadap Anda.
Dan jumlah pikiran kritis yang Anda terapkan pada sebuh argumen bergantung pada dua faktor yakni motivasi dan kemampuan Anda. Motivasi paling tidak terdiri atas tiga hal. Pertama, keterlibatan atau relevansi personal dengan topik. Kedua, dalam motivasi adalah perbedaan pendapat. Kita cenderung lebih memikirkan pendapat yang berasal dari beragam sumber. Dan faktor ketiga adalah kecenderungan pribadi terhadap cara berpikir kritis. Orang yang suka mempertimbangkan pendapat, lebih menggunakan pengolahan secara sentral daripada mereka yang tidak suka akan hal tersebut.
Tradisi Sibernetika
Teori sibernetika menekankan hubungan timbal balik di antara semua bagian dari sebuah sistem. Ada dua genre teori sibernetika. Pertama, satu kelompok teoi yang berasal dari rubrik penggabungan informasi (informaation integration). Kedua, satu kelompok teori yang dikenal sebagai teori konsistensi (consistency theories). Adapun teri-teori komunikator dalam tradisi sibernetika dapat dikategorikan menjadi:
Teori Penggabungan
Berpusat pada cara kita mengakumulasi dan mengatur informasi tentang semua orang, objek, situasi dan gagasan yang membentuk sikap atau kecenderungan untuk bertindak dengan cara yang positif atau negatif terhadap sejumlah objek. Model ini bermula dengan konsep kognisi yang digambarkan sebagai sebuah kekuatan sistem interaksi. Terdapat dua variabel, yang mempengaruhi perubahan sikap. Pertama, valence (arahan) dan bobot yang Anda berikan terhadap informasi.
Valence mengacu pada apakah informasi mendukung keyakinan Anda atau menyangkal mereka. Ketika informasi mendukung keyakinan Anda, maka informasi tersebut memiliki valence positif. Ketika tidak menyokong, maka nilai valence-nya negatif. Sedangkan bobot adalah sebuah kegunaan dari kredibilitas. Jika Anda berpikir bahwa informasi tersebut adalah benar, maka Anda akan memberikan bobot lebih tinggi pada informasi tersebut. Jika tidak, maka bobotnya menjadi lebih rendah.
Jadi valence mempengaruhi bagaimana informasi mempengaruhi sistem keyakinan Anda dan bobot mempengaruhi seberapa banyak pengaruh itu bekerja. Ide dasar dari penggabungan informasi bergantung pada keseimbangan keyakinan, valence dan kredibilitas.
Teori Nilai Ekspektasi
Salah satu tokoh penggagas teori ini adalah Martin Fishbein. Menurutnya, ada dua macam keyakinan. Pertama, yakin pada suatu hal. Ketika kita meyakini sesuatu, kita akan berkata bahwa hal tersebut ada. Kedua, yakin tentang adalah perasaan kita pada kemungkinan bahwa hubungan tertentu ada di antara dua hal.
Menurut teori nilai ekspektasi, perubahan sikap dapat berasal dari 3 sumber. Pertama, informasi dapat mengubah kemampuan untuk meyakini atau bobot terhadap keyakinan tertentu. Kedua, informasi dapat mengubah valence dari sebuah keyakinan. Ketiga, informasi dapat menambah keyakinan yang baru terhadap struktur sikap.
Teori Tindakan yang Beralasan
Icek Ajzen dan Martin Fishbein memperluas cakupan dari teori nilai ekspektasi dengan menambahkan faktor intensi dalam rumus. Mereka menunjuk hal ini sebagai teori dari tindakan yang beralasan. Secara spesifik, intensi dari perilaku tertentu ditentukan oleh sikap kita terhadap perilaku dan kumpulan keyakinan tentang bagaimana orang lain ingin kita berperilaku. Adapun formula yang dikembangkan untuk memperkuat proses tersebut adalah:
Intensi perilaku (BI) = Sikap terhadap perilaku berbanding lurus (Ab) dengan Bobot sikap (W1) plus Norma subjektif (apa pikiran orang lain) (SN) berbanding lurus dengan Bobot norma subjektif (W2).
Formulasi di atas memprediksikan intensi dari perilaku Anda, tetapi tidak secara utuh memperkirakan perilaku sebenarnya. Ini karena kita tidak selalu berperilaku berdasarkan intensi orang lain. Secara garis besar, Teori Tindakan yang Beralasan ini secara prinsipiil membantu kita melihat hubungan antara sistem faktor, apa yang Anda pikirkan tentang isu dan bagaimana Anda berperilaku yang dihasilkan dari sebuah interaksi kompleks di antara variabel.
Teori Konsistensi
Semua teori konsistensi dimulai dengan dasar pikiran yang sama, yaitu orang lebih nyaman dengan konsistensi daripada inkonsistensi. Konsistensi adalah prinsip aturan utama dalam proses kognitif dan perubahan sikap yang dapat dihasilkan dari informasi yang mengacaukan keseimbangan ini.
Dalam bahasa sibernetika, manusia mencari homeostasis atau keseimbangan dan sistem kognitif adalah sebuah alat utama yang digunakan untuk mencapai keseimbangan. Ada dua jenis teori konsistensi kognitif, yakni teori disonansi kognitif (cognitive dissonannce) karya Leon Festinger serta teori penggabungan problematis karya Austin Babrow. Penjelasannya ada di bawah ini.
Teori Disonansi Kognitif
Tokohnya adalah Leon Festinger. Selama bertahun-tahun, teori disonansi kognitif menghasilkan sebuah kuantitas penelitian yang sangat banyak dan buku kritisisme, interpretasi dan ekstrapolasi. Teori ini dimulai dengan gagasan bahwa pelaku komunikasi memiliki beragam elemen kognitif seperti sikap, persepsi, pengetahuan dan perilaku. Seluruh elemen tersebut tidak bisa terpisahkan, tapi saling berhubungan dalam sebuah sistem setiap elemen dari sistem tersebut akan memiliki satu dari tiga macam hubungan dengan setiap elemen dari sistem lainnya. Jenis hubungan pertama adalah kosong atau tidak berhubungan. Jenis hubungan kedua, adalah cocock (sesuai), dengana salah satu elemen yang menguatkan ataua mendukung elemen yang lain.
Jenis hubungan ketiga adalah tidak cocok (disonansi). Ketidakcocokan terjadi dengan salah satu elemen tidak diharapkan untuk mengikuti yang lain. Ada dua dasar pemikiran yang menolak teori disonansi. Pemikiran pertama, disonansi menghasilkan ketegangan atau tekanan yang menciptakan keharusan untuk berubah. Dasar pemikiran kedua secara ilmiah mengikuti logika pemikiran pertama; di mana ketika disonansi hadir, individu bukan hanya akan mencoba untuk mengurainya, tetapi juga akan menghindari situasi-situasi adanya disonansi lain yang akan dihasilkan. Semakin besar disonansinya, semakin besar pula kebutuhan untuk menguranginya. Festinger memberikan 5 metoda menghadapi disonansi kognitif. Pertama, Anda dapat mengubah salah satu atau beberapa elemen kognitif (perilaku atau sikap). Kedua, elemen-elemen baru dapat ditambahkan pada salah satu sisi tekanan atau pada sisi yang lain.
Ketiga, kita dapat melihat bahwa elemen-elemen yang tidak sesuai sebenarnya tidak sepenting biasanya. Keempat, kita dapat melihat informasi yang sesuai, dengan membaca kajian-kajian terbaru mengenai sebuah topik. Kelima, mengubah atau menafsirkan informasi yang ada dengan cara yang berbeda. Jumlah disonansi yang dialami sebagai hasil sebuah keputusan bergantung pada 4 variabel. Yakni kepentingan keputusan, ketertarikan pada alternatif yang dipilih, semakin besar ketertarikan yang dirasakan dari alternatif yang dipilih, semakin besar disonansi yang akan dirasakan, dan terakhir, keterpaksaan atau diperintahkan untuk melakukan atau mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan keyakinan atas nilai-nilai pribadi.
Teori disonansi menyatakan, semakin sulit permulaan seseorang masuk ke sebuah kelompok, semakin besar komitmen terhadap kelompok tersebut. Teori disonansi lain juga menyatakan, semakin besar jumlah upaya yang dikerahkan seseorang dalam sebuah tugas, orang tersebut akan merasionalisasikan nilai tugas tersebut.
Teori Penggabungan Masalah
Austin Babrow menyatakan, peran komunikasi dalam memabantu individu mengatur disonansi kognitif atau apa yang disebut sebagai penggabungan masalah (problematic integration). Teori Babrow ini didasarkan pada 3 dalil, yakni:
Kita memiliki kecenderungan alami untuk menyejajarkan harapan-harapan dan penilaian-penilaian kita sendiri. Kedua, menggabungkan harapan dan penilaian menjadi suatu masalah, tidak selalu mudah untuk menyejajarkan harapan dan penilaian. Ketiga, penggabungan masalah berakar dari komunikasi dan diatur melalaui komunikasi.
Dalil pertama Babrow, kebutuhan yang dirasakan untuk menyejajarkan harapan dengan nilai, dapat menghasilkan tekanan ketika apa yang diinginkan ternyata tidak sejajar dengan apa yang kita harapkan. Dengan lain kata, sebagai sebuah aturan, kita lebih merasa nyaman ketika Anda menyukai hal-hal yang kita rasa dapat kita miliki dan kita cenderung mengharapkan hal-hal yang kita sukai.
Dalil kedua, penggabungan harapan dan penilaian acap kali menjadi masalah juga. Ada 4 kondisi dilematis. Pertama, perbedaan (diveregence) antara harapan dan penilaian. Di sini harapan tidak sesuai dengan penilaian. Masalah lainnya yakni ambiguitas (kurangnya penjelasan mengenai apa yang diharapkan). Kondisi ketiga, dua perasaan yang bertentangan (ambivalence) atau penilaian yang bertentangan. Keempat, penggabungan masalah dapat terjadi ketika peluang terjadinya sesuatu sebenarnya tidak mungkin.
Dalil ketiga dari teori ini, penggabungan masalah memerlukan komunikasi karena kita mengalami penggabungan masalah melalui komunikasi. Teori penggabungan masalah merupakan teori yang membantu kita memahami cara-cara komunikator berpikir, bagaimana mereka menggabungkan dan menyusun infomasi yang memengaruhi sikap, keyakinan, nilai dan perilaku.
Tradisi Sosiokultural
Teori sosiokultural menunjukkan bagaimana komunikator memahami diri mereka sebagai makhluk-makhluk kesatuan dengan perbedaan-perbedaan individu dan bagaimana perbedaan tersebut tersusun secara sosial dan bukan ditentukan oleh mekanisme psikologis dan biologis yang tetap.
Interaksi Simbolis dan Pengembangan Diri
Merupakan sebuah cara berfikir mengenai pikiran, diri sendiri dan masyarakat yang telah memberi kontribusi besar terhadap tradisi sosiokultural dalam teori komunikasi. Penggagasnya adalah George Herbert Mead. Interaksionisme Simbolis mengajarkan bahwa manusia berinteraksi satu sama lain sepanjang waktu, mereka berbagai pengertian untuk istilah-istilah dan tindakan-tindakan tertentu dan memahami kejadian-kejadian dalam cara-cara tertentu pula.
Satu-satunya syarat agar sesuatu menjadi sebuah objek adalah bahwa seseorang harus memberi nama atau menghadirkannya secara simbolis. Karenanya, objek-objek lebih dari sekadar hal-hal objektif, mereka merupakan objek-objek sosial seseorang. Menurut Manford Kuhn, penamaan sebuah objek sangat penting karena penamaan merupakan salah satu cara menyampaikan maksud objek.
Gagasan Harre Mengenai Seseorang dan Diri Sendiri
Inti teori ini adalah gagasan bahwa diri sendiri tersusun oleh sebuah teori atau gagasan mengenai personhood dan sebuah gagasan atau teori tentang selfhood. Menurut Harre, seseorang adalah bentuk yang dapat dilihat yang terkarakterisasi oleh sifat-sifat tertentu dan karakteristik yang terbentuk dalam sebuah kelompok sosial dan budaya.
Diri sendiri merupakan pikiran pribadi menganai kesatuan Anda sebagai seseorang. Teori Harre tentang kepribadian juga mengandung sebuah susunan dimensi yang membedakan cara-cara diri sendiri disusun dan dihadirkan. Perbedaan-perbedaan ini dapat digambarkan dan dipandang dengan leluasa dalam dimensi-dimensi penampilan, realisasi dan perantara. Penampilan merujuk pada apakah sebuah aspek diri sendiri ditampilkan secara umum atau tetap dianggap sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan kepribadian sebagai sesuatu yang umum, sedangkan dalam kebudayaan lain, emosi dapat diartikan sebagai sesuatu yang umum.
Dimensi kedua dari diri sendiri adalah realisasi sumber, tingkatan di mana beberapa karakteristik diri diyakini berasal dari dalam individu atau dari kelompok di mana diri sendiri menjadi sebuah bagian. Elemen-elemen diri sendiri yang diyakini berasal dari seseorang disebut elemen yang direalisasikan secara individu, sedangkan elemen-elemen yang diyakini berasal dari hubungan seseorang dengan kelompok disebut elemen yang direalisasikan secara kolektif.
Dimensi ketiga, perantara merupakan tingkatan kekuatan aktif yang melekat pada diri sendiri. Gagasan tentang diri sendiri yang dijelaskan Harre, merupakan gagasan yang kompleks dan berlapis. Cakupan diri, seperti tersusun antara dimensi umum dan pribadi berubah-ubah dari satu kebudayaan ke kebudayaan lainnya karena realitas sosial mengenai kebudayaan berbeda satu sama lain. Susunan sosial dari variabel inilah yang menjadikan teori Harre sebagai sebuah teori kontruksionis sosial.
Pembentukan Sosial mengenai Emosi
Menurut James Averill, emosi merupakan sistem kepercayaan yang memandu pemahaman seseorang mengenai situasi. Emosi memiliki sebuah komponen psikologis, tetapi mengenali dan menamai perasaan-perasaan jasmani dipelajari secara sosial dalam sebuah kebudayaan. Dengan kata lain, kemampuan untuk memaham emosi terbentuk secara sosial. Sedangkan Averill menyebut emosi sebagai syndrome, yang artinya kelompok-kelompok atau susunan-susunan respons yang berjalan beriringan. Tidak ada respons tunggal yang cukup menjelaskan sebuah emosi, tetapi semuanya harus dipandang secara bersamaan. Sindrome emosional terbentuk secara sosial karena manusia belajar melalui interaksi mengenai kelompok perilaku tertentu apa yang harus diambil untuk mengartikan dan bagaimana menunjukkan sebuah emosi tertentu.
Menurut Averill, ada 4 atturan yang mengatur emosi. Pertama, aturan penilaian, memberitahu kita apakah emosi itu, di mana emosi tersebut diarahkan, dan apakah emosi tersebut positif atau negatif. Kedua, aturan perilaku, memberitahu kita bagaimana merespons perasaan, apakah untuk menyembunyikannya, untuk menunjukkannya secara pribadi, atau untuk benar-benar melepaskannya. Ketiga, aturan ramalan, menjelaskan kemajuan dan rangkaian emosi, berapa lama emosi tersebut harus bertahan, apa saja tahapan-tahapannya, bagaimana emosi tersebut dimulai, dan bagaimana emosi tersebut diakhiri? Keempat, aturan pelekatan, memerintahkan bagaimana sebuah emosi harus dijelaskan dan dibenarkan. Apakah Anda memberitahu orang lain tentang hal ini dan bagaimana Anda menunjukkannya secra umum?
Pembawaan Diri
Pembawaan diri berarti pengelolaan pesan. Interpretasi sebuah situasi merupakan definisi dari situasi tersebut. Definisi sebuah situasi dapat dibagi dalam bentuk kepingan dan kerangka. Sebuah kepingan adalah sebuah rangkaian kegiatan. Kerangka adalah sebuah pola organisasional dasar yang digunakan untuk menjelaskan kepingan.
Analisis kerangka juga terdiri dari menentukan bagaimana individu mengatur dan memahami perilaku mereka dalam sebuah situasi. Ketika kita memasuki situasi apapun, maka kita menghadirkan sebuah presentasi atau performa, kita harus memutuskan bagaimana menempatkan diri, apa yang harus dikatakan dan bagaimana harusnya kita bertindak.
Performa bukanlah sesuatu sepele, tetapi secara harfiah menjelaskan siapa kita sebagai seorang pelaku komunikasi. Pelaku komunikasi merupakan perwakilan diri dan setiap orang bisa memiliki banyak bentuk diri, bergantung pada cara-cara ketika diri dihadirkan dalam banyak situasi yanaag dihadapi dalam kehidupan.
Teori Komunikasi tentang Identitas
Ketika kita menanyakan, siapakah saya?, sejatinya kita meneliti bahasan mengenai identitas diri, yaitu susunan gambaran diri kita sebagai seseorang. Teori-teori yang berfokus pada pelaku komunikasi akan selalu membawa identitas diri ke sejumlah tingkatan, tapi identitas berada dalam lingkup budaya yang luas dan manusia berbeda dalam menguraikan diri mereka sendiri. Misalkan di Afrika, identitas dipahami sebagai hasil pencarian keseimbangan dalam hidup dan sebagian bergantung pada kekuatan yang didapatkan manusia dari leluhur mereka. Di Asia, identitas didapatkan bukan melalui usaha perorangan, tapi melalui usaha kolektif kelompok dan timbal balik antarmanusia. Dalam budaya Yunani, identitas dipahami sebagai sesuatu yang bersifat pribadi dan seseorang melihat diri bertentangan atau berbeda dengan identitas yang lain.
Teori Komunikasi tentang Identitas menggabungkan 3 konteks budaya, yakni: individu, komunal dan publik. Teori ini dicetuskan oleh Michael Hecht dan koleganya. Menurut teori tersebut, identitas merupakan penghubung utama antara individu dan masyarakat serta masyaraakat dan komunikasi merupakan mata rantai yang memperbolehkan hubungan ini terjadi.
Tentu identitas Anda adalah kode, yang mendefiniskan keanggotaan Anda dalam komunitas yang beragam, kode yang terdiri dari simbol-simbol, seperti bentuk pakaian dan kepemilikan, kata-kata, seperti diskripsi diri atau benda yang biasanya Anda katakan, dan makna yang Anda dan orang lain hubungkan terhadap benda-benda tersebut.
Komunikasi merupakan alat untuk membentuk identitas dan juga mengubah mekanisme. Anda mendapatkan pandangan serta reaksi orang lain dalam interaksi sosial dan sebaliknya, memperlihatkan rasa identitas dengan cara Anda mengekspresikan diri Anda dan merespons orang lain. Subjective dimension akan identitas merupakan perasaan pribadi Anda, sedangkan ascribed dimension adalah apa yang orang lain katakan tentang Anda.
Dengan lain kata, rasa identitas Anda terdiri dari makna-makna yang dipelajari dan yang Anda dapatkan diri pribadi Anda; makna-makna tersebut diproyeksikan kepada orang lain kapanpun Anda berkomunikasi--suatu proses yang menciptakan diri Anda yang digambarkan.
Hecht menguraikan identitas melebihi pengertian sederhana akan dimensi diri dan dimensi yaang digambarkan. Kedua dimensi tersebut berinteraksi dalam rangkaian 4 tingkatan atau lapisan. Tingkatan pertama, adalah personal layer, terdiri dari rasa akan keberadaan diri Anda dalam situasi sosial. Tingkatan kedua, enactment layer, atau pengetahuan orang lain tentang diri Anda berdasarkan pada apa yang Anda lakukan, apa yang Anda miliki, dan bagaimana Anda bertindak.
Penampilan Anda adalah simbol-simbol aspek yang lebih mendalam tentang identitas Anda serta orang lain akan mendefinisikan dan memahami Anda melalui penampilan tersebut. Tingkatan ketiga, relational atau siapa diri Anda dalam kaitannya dengan individu lain. Identitas dibentuk dalam interaksi Anda dengan mereka. Tingkatan keempat, tingkatan komunal yang diikat pada kelompok atau budaya yang lebih besar.
Teori Negosiasi Identitas
Stel Ting-Toomey mengeksplorasi cara-cara di mana identitas dinegosiasi (dibahas) dalam interaksi dengan orang lain, terutama dalam berbagai budaya. Identitas atau gambaran refleksi diri dibentuk melalui negosiasi ketika kita menyatakan, memodifikasi atau menantang identifikasi-identifikasi diri kita atau orang lain. Hal ini bermula dalam kehidupan keluarga, ketika kita mulai memeroleh berbagai identitas pribadi dan sosial. Identitas etnik dan kebudayaan ditandai oleh nilai isi (value content) dan ciri khas (alience). Nilai isi terdiri dari macam-macam evaluasi yang Anda buat berdasarkan pada kepercayaan-kepercayaan budaya.
Beberapa individu lebih efektif dalam memeroleh keseimbangan yang nyaman. Anda tahu bahwa Anda telah melaksanakannya, sehingga ketika Anda mempertahankan rasa diri yang kuat, tapi juga mampu menelusuri dengan fleksibel identitas yang lainnya dan membolehkannya untuk memiliki rasa identitas. Ting-Toomey menyebutnya keadaaan functional biculturalism atau bikulturalisme fungsional. ketika Anda mampu berganti dari satu konteks budaya ke budaya lainnya dengan sadar dan mudah, maka Anda telah mencapai keadaan pengubah kebudayaan (cultural transformer). Kunci untuk memeroleh keadaan-keadaan tersebut adalah kemampuan lintas budaya (intercultural competence).
Kemapuan lintas budaya terdiri atas 3 komponen: pengetahuan (knowledge), kesadaran (mindfulness), dan kemampuan (skill). Pengatahuan adalah pemahaman akan pentingnya identitas etnik/kebudayaan dan kemampuan melihat apa yang penting bagi orang lain. Artinya, mengetahui sesuatu tentang identitas kebudayaan dan mampu melihat segala perbedaan. Kesadaran berarti secara biasa dan teliti untuk menyadari. Kemampuan mengacu pada kemampuan untuk menegosiasi identitas melalui observasi yang teliti, menyimak, empati, kepekaan non verbal, kesopanan, penyusunan ulang dan kolaborasi.
Tradisi Kritik
Teori ini terpusat pada politik diri atau cara kita memosisikan diri masing-masing secara sosial sebagai individu yang diberi kuasa atau yang tidak diberi kuasa. Teori identitas politik (identity politics), kekuatan sosial pribadi, berbagai pandangan kritis yang sama tentang identitas dengan implikasi penting bagi pelaku komunikasi. Titik tolak bagi teori identitas diawali pada waktu banyaknya pergerakan sosial yang uncul di Amerika tahun 60-an, termasuk hak-hak masyarakat, kekuatan kulit hitam, pergerakan wanita dan pergerakan kaum gay./lesbian.
Berbagai pergerakan di atas, memiliki persamaan dalam beberapa asumsi tentang kategori identitas yakni: para anggota kategori identitas berbagi kesamaan analisis tentang tekanan mereka yang sama, tekanan yang sama menggantikan semua kategori identitas lainnya, para anggota kelompok identitas selalu menjadi sekutu satu sama lain. Ada 3 teori dalam tradisi kritik, yang berguna dalam membantu para ahli komunikasi memikirkan identitas dengan cara-cara yang rumit dan menantang. Yakni: teori sudut pandang, identitas sebagai yang dibentuk dan ditampilkan serta teori yang ganjil (queer theory).
Teori Sudut Pandang (Standpoint Theory)
Teori ini mengkaji bagaimana keadaan kehidupan individu mempengaruhi aktivitas individu dalam memahami dan membentuk dunia sosial. Permulaan untuk memahami pengalaman bukanlah kondisi sosial, ekspektasi peran dan definisi gender, tetapi cara khusus di mana individu membentuk kondisi tersebut dan pengalaman mereka di dalamnya. Epistemologi sudat pandang memperhitungkan keragamaman dalam komunikasi wanita dengan memahami perbedaan sifat-sifat menguntungkan yang dibawa oleh wanita ke dalam komunikasi dan berbagai cara dalam penanaman tersebut yang mereka jalankan dalam praktiknya. Teori sudut pandang menjawab pandangan-pandangan esensial terhadap wanita. Hal terpenting bagi teori sudat pandang adalah ide pemahaman yang berlapis.
Identitas yang Dibentuk dan Ditampilkan
Teori kritik identitas (theory critical identity) menyarankan bahwa identitas ada dalam konstruksi sosial kategeori itu oleh budaya yang lebih luas. Kita memperoleh identitas kita dalam bagian yang lebih luas dari konstruksi yang menawarkan identitas itu dari berbagai kelompok sosial di mana kita menjadi bagian--keluarga, masyarakat, subkelompok budaya dan ideologi dominan. Dengan mengabaikan dimensi identitas--gender, kelas, ras, seksualitas--identitas ditampilkan sesuai atau berlawanan dengan norma dan ekspektasi. Gender trouble milik Judith Butler adalah artikulasi identitas yang kuat karena keduanya dibentuk dan ditampilkan serta teori-teorinya memiliki pengaruh dalam memikirkan identitas dalam kajian komunikasi.
Teori Queer
Secara histori, istilah queer punya beragam makna, yang mengacu pada sesuatu yang ganjil atau tidak biasa, seperti pada kata querky. Ditujukan untuk karakteritik negatif, seperti kegilaan, yang ada di luar norma-norma sosial. Asal teori queer dirujuk pada Teresa de Auretis yang pada tahun 1990 memilihnya sebagai judul sebuah konferensi yang ia koordinasi yang bertujuan mengacaukan kepuasan diri akan kajian lesbian dan homo.
Sebagai kajian interdisipliner, teori queer mempertahankan misi yang mengacaukan yang telah ditunjukkan oleh de Lauretis, dengan sengaja untuk menggoncangkan makna, kategori dan identitas di antara gender dan seksualitas. Teori ini berusaha membuat keganjilan, memusingkan, meniadakan, membatalkan, melebih-lebihkan, pengetahuan dan institusi yang heteronormative.
Dalam pendidikan, teori queer merupakan tantanagan besar terhadap gagasan-gagasan tradisional tentang identitas. Dalam kontradiksi dan paradoks, teori ini menemukan poin utamanya bagi keberhasilan dan batasannya. Secara marginal dan sentral, teori ini menawarkaan sebuah pandangan unik mengenai komunikasi, di antara ilmu-ilmu lainnya, dengan pendiriannya yang menganggu.
Sumber referensi: Stephen W. Littlejohn dan Karen A. Foss, Teori Komunikasi (edisi 9), Penerbit Salemba Humanika, Jakarta Selatan,2011, halaman 93-149
Yogyakarta, 06.26 WIB
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H