Permainan tradisional bagi generasi 90-an tentu bukan hal yang asing. Saat belum ada gadget seperti sekarang ini, permainan itulah yang begitu lekat dengan mereka. Tapi apa jadinya kalau permainan tradisional era 90-an itu dimainkan oleh gen z atau generasi zaman now?
Terus apa pula reaksi generasi 90-an ketika memainkan lagi permainan tradisional itu? Itu bisa kita saksikan dan coba berbagai permainan tempo dulu di kegiatan gelar karya P5 SMA Terpadu Al-Qudwah kabupaten Lebak.
Pameran permainan tradisional itu merupakan bentuk gelar karya projek penguatan profil pelajar Pancasila atau dikenal P5 yang dilakukan siswa kelas X.
P5 merupakan bagian implementasi kurikulum merdeka yang kegiatan memilik tema tertentu. Nah, di semester ini, tema kelas X adalah kearifan lokal.
Ada beberapa permainan yang ditampilkan sekaligus bisa dicoba oleh pengunjung yaitu bermain karet (yeye), egrang (jajangkungan), bledoran (meriam bambu), pletolan, Rangkualu, dan Babatokan.
Acara gelar karya ini dilakukan secara serius, lebih dulu ada pembukaan di aula Granada, aula kebanggaan sekolah Al Qudwah.
Mungkin banyak yang baru tahu apa itu gelar karya. Maklum, produk ini juga dari kebijakan baru; Kurikulum Merdeka. Jika sudah dengar, mungkin tak mendalam juga. Yang jelas, Gelar karya ini memanen banyak apresiasi.
Mulai dari apresiasi direktur pendidikan Yayasan Qudwatul Ummah KH. Samson Rahman MA., kepala SMA Terpadu Al-Qudwah Iwan Supriana, M.Pd., dan orang tua. Termasuk kepala serta glguru TK, SD, dan SMP Al Qudwah.
KH. Samson Rahman, M.A (Direktur Pendidikan)
"Siswa SMA Terpadu Al-Qudwah secara kreatif mengusung permainan tradisional yang banyak memberikan proses edukasi sebagai manusia. Mulai dari gotong royong, kreatif, kerja keras, dan pantang menyerah. Nuansa kondisi zaman dulu sangat terasa. Ditambah sajian makanan dalam kegiatan juga identik dengan zaman dulu seperti kacang rebus, singkong, dan lainnya," ujar KH. Samson Rahman, MA.
"Terimakasih banyak kepada siswa kelas X yang sudah berjibaku menyiapkan gelar karya. Sebetulnya gelar karya tersebut tidak harus menampilkan hal yang wah sehingga membutuhkan banyak pengeluaran. Gelar karya bisa dilakukan dengan hemat biaya. Kita bisa mencoba permainan yang ada. Anggap sebagai tantangan, karena nggak muda juga untuk memainkan. Semoga gelar Karya lainnya terus menampilkan hal yang semakin seru," kata kepala sekolah, Iwan Supriana, M.Pd.
Â
"Mantap, Pak. Seru acaranya. Anak-anak seneng banget ada permainan seperti ini. Mereka jadi bergerak. Jadi pembanding daripada main hape saja, kan," kata seorang guru SD.
Selama permainan itu juga saya melihat guru-guru yang mendampingi anak-anaknya menyaksikan gelar karya sangat bahagia. Mereka ketawa saat melihat bahkan menjajal permainan tradisional itu. Sekalian nostalgia, lah.
Ya, guru bahkan kepala sekolah ikut bermain beberapa Kaulinan Barudak yang dipamerkan di aula Granada dan sekitarnya. Ratusan pengunjung saling mengenal dan memainkan permainan tradisional yang sempat tenar di tahun 90-an dan sebelumnya.
Mereka memang jadi berkeringat, tapi terlihat kebahagiaannya. Mereka jadi lelah, tapi terlihat ketawa. Banyak bergerak, jadi sehat. Camilan kacang rebus, singkong rebus, mantang rebus yang tersaji di piring terbakar habis menjadi energi sekaligus mengurangi kalori dalam tubuh.
Rasanya permainan yang paling susah adalah bermain egrang. Berdiri, berpegangan, dan berjalan dengan sebilah bambu yang diberi pijakan ini memang butuh keseimbangan dan ketepatan saat mengayunkannya.
Hanya ada dua guru yang kelihatan mahir menggunakannya. Semuanya guru putra. Lalu bagaimana guru lainnya? Mungkin masa kecilnya belum biasa memainkannya.
Beberapa kali guru yang mencoba hanya satu dua kali jalan. Lainnya bahkan jatuh saat baru naik, belum juga jalan. Tapi, banyak juga siswa yang mahir main egrang. Bahkan anak perempuan juga, lho.
Permainan yang paling ramai adalah meriam bambu, ini versiku. Anak-anak SD dan SMP mengerubungi dua meriam bambu yang diisi minyak itu. Kabarnya, siswa kelas X menghabiskan sampai empat buah bambu.
Suara menggelegar dari meriam bambu itulah yang menarik minat pengunjung. Banyak panitia yang diambil alih oleh pengunjung. Jadi awalnya panitia yang membunyikan meriam itu. Lalu saat ramai, pengunjung sendiri yang meledak-ledakkan meriam bambu itu.
Pembelajaran Berani Tampil di Depan Umum
Pada kegiatan gelar karya itu, ada pembukaan, sambutan, dan presentasi. Pembukaan dihadiri oleh seluruh siswa SMA, rombongan TK, SD, dan SMP. Apresiasi untuk bentuk kolaborasi tiga lembaga yang membuat kegiatan ini ramai.
Capeknya panitia menyiapkan kegiatan jadi hilang karena antusiasme pengunjung. Capeknya siswa kelas X membuat permainan tradisional langsung terbayar dengan kebahagiaan yang menjajal permainan itu.
Tak hanya memberikan pelayanan kepada pengunjung, siswa kelas X juga berlatih berani tampil di depan umum. Mulai dari MC, tilawah, doa, dan presentasi.
Ya, mereka mempresentasikan, setiap kelompok, permainan yang mereka buat. Meskipun mempresentasikan bahan yang sudah ada di slide presentasi, tidak mudah juga lho tampil di depan umum. Maka, salut, buat kelas X yang tampil dengan bagus kemarin itu. Ini sebagai modal kalian untuk tampil dengan percaya diri lagi ke depannya.
Terima kasih buat para guru pendamping yang mendorong siswa untuk menampilkan sajian yang sangat berkesan. Kerjasama antara siswa dan guru membuktikan bahwa karya sederhana bisa menjadi sangat bermakna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H