Program guru penggerak adalah program yang keren. Banyak peningkatan yang didapat dari program ini. Kualitas guru semakin meningkat dengan berbagai paradigma pendidikan dan skill pengajaran lainnya.Â
Sudah diluncurkan program guru penggerak ini terus diminati oleh banyak guru. Entah dengan motif ingin meningkatkan karir, membuka peluang menjadi kepala sekolah, atau lainnya yang jelas guru penggerak terus marak.Â
Di sekolah, saya pun melihat sendiri kualitas peningkatan kualitas guru ketika mengikuti program guru penggerak.Â
Namun, di sekitar saya juga terjadi anomali guru penggerak. Seorang guru penggerak yang semakin punya ilmu mumpuni harusnya berilmu padi. Semakin berisi semakin menunduk. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Seorang oknum guru penggerak ini justru apa yang dengan rasa hormat kepada guru lainnya.Â
Beberapa kali saya menjadi saksi seteru antara guru penggerak dengan teman seprofesinya. Padahal, guru itu adalah seniornya. Sudah selayaknya kepada orang yang lebih tua, harus hormat. Walaupun ada perbedaan tidak lantas mengabaikan kesopanan.Â
Di luar konteks masalah siapa yang benar dan salah, tidak elok kiranya seorang guru tidak hormat kepada rekan seprofesinya.Â
Apalagi jika memang dalam masalah ini, si oknum guru penggerak yang keliru.
Oke sih guru penggerak punya banyak strategi baru dengan dari keikutsertaannya dalam program guru penggerak ini. Tapi bukan berarti hal yang baru itu selalu benar.
Misalnya dalam cara mengerjakan soal. Bukankah ada banyak cara dalam mengerjakan soal? Sah-sah saja menggunakan cara yang berbeda dalam mencari penyelesaian?Â
Seperti cara menyelesaikan sistem persamaan linear dua variabel. Itu kan ada tiga cara. Bukankah boleh menggunakan salah satu dari ketiganya? Bebaskan siswa menggunakan metode yang dia sukai.Â