Banyak yang masih galau memilih jurusan. Pagi ini seorang teman cerita anaknya dua kali pindah jurusan. Anaknya sekarang kelas XI SMA. Atau kelas 2 SMA.
Di kelas X dia pilih jurusan IPA. Lalu di Kelas XI dia pindah jurusan IPS. Seharusnya nggak bisa. Karena dapodik sudah merekam data jurusan siswa. Entah kenapa bisa pindah.
Nah, sekarang, masih di kelas XI, dia mau pindah lagi ke IPA. Bisakah? Entahlah.
Masih banyak orang tua yang maksakeun anaknya di IPA agar bisa kuliah atau kerja yang mentereng. Padahal, kemampuan anaknya kurang mendukung.
Kasihan anaknya. Jadi membawa beban. Dipaksa belajar yang mereka nggak suka.
Sebagai guru, saya sering menemukan siswa yang pilih jurusan karena disuruh orang tua. Ayahnya dokter. Dia diminta mengikuti jejak ayahnya. Ayahnya analis kesehatan. Dia diminta pilih jurusan IPA. Biar kedepannya kuliah di analis kesehatan seperti ayahnya. Eh, ini yang mau kerja, ayahnya atau anaknya ya?
Seorang teman menyeletuk begini,
Semoga Allah mudahkan ya mbak.
Sering kali anak memutuskan karena mau menyenangkan hati ortu saja padahal sejujurnya mereka berat.
Lalu, dibalas pula begini.
Guru zaman dulu sama zaman sekarang beda. Dulu mungkin IPA itu benar2 favorit. Kalo sekarang mah semua sama kerennya. Malah yg perlu diasah itu Soft Skill anak mba.
Ada pula kisah yang begini
Saya dulu juga didorong keluarga masuk IPA karena Om kepala BPS di salah satu cabang Jawa Timur. Katanya kalau masuk IPA bisa masuk kuliah Matematika atau Ilmu Statistik biar kerja di Badan Pusat Statistik. Tapi nilai saya ga mencukupi akhirnya masuk IPS
Alhamdulillah sih belum lulus malah udah dapet kerjaan jadi accounting di sebuah perusahaan punya Malaysian. Terus karena kerjanya bagus kata mereka, saya dipindah ke bagian assistent marketing executive. Tapi setelah nikah resign karena pengen momong anak . Jadi freelancer deh sekarang.