Pekan kemarin saya menjalani sekolah lagi. Bersama 35 siswa lainnya dalam program magister (S-2) di sebuah universitas. Mayoritas sebagai siswanya sudah sepuh, terlihat dari raut wajah dan uban yang tidak bisa menyembunyikan usia. Beberapa diantaranya ada yang sudah kepala lima. Meskipun ada juga yang baru tiga hari lalu di wisuda Sarjana Pendidikan (S-1).
Mereka dari berbagai profesi. Rerata guru, baik honor maupun negeri (PNS). Ada yang kepala sekolah, ada wiraswasta, dosen, konsultan dan lainnya. Pada sesi perkenalan, diketahuilah motivasi mereka untuk kembali sekolah (kuliah).
Ada yang memang untuk sebagai syarat menjadi pimpinan sebuah lembaga pendidikan, ada yang ingin meneruskan pendidikan, dan ada yang ingin alih profesi.
Dari wiraswasta menjadi pengajar (dosen). Meski, ada juga yang menegaskan mengambil gelar magister pendidikan adalah karena ingin mendalami dunia pendidikan.
Sebuah apresiasi diberikan kepada Marthen, teman yang asalnya dari Ambon, saat ini juga mengajar di sekolah swasta di Bogor, bahwa dia kuliah lagi karena ingin menimba ilmu, supaya bisael membangun daerah Papua dengan pendidikan.
Sebelumya, katanya, dia pernah ke suatu daerah di Papua, menempuh jarak dengan berjalan kaki selama lima hari. Di sana, dia menemukan sekolah yang memprihatinkan.
Anak-anak jarang yang sekolah, jika sekolah pun dengan seragam yang apa adanya. Lebih sering tidak berseragam. Sementara, sekolah hanya punya beberapa guru saja. Itu pun kadang masuk kadang tidak.
Marthen ini kuliah jurusan Ilmu Tanah, setelah wisuda dia mengajar Fisika di sekolah. Rencananya, sesudah meraih gelar magister, dia akan pulang membangun daerahnya.
Ada satu mahasiswi yang bercadar. Satu-satunya. Oleh dosen, dia diminta untuk tidak kaget, jika sewaktu sidang tesis, diminta untuk ke bagian tata usaha untuk melepaskan cadarnya.
Untuk validasi, Â menunjukkan bahwa dia adalah benar orang yang sesuai kartu ujian atau administrasi lainnya. Ibu yang bercadar itu tidak keberatan. Dari anggukkan kepalanya, dia menunjukkan gestur setuju.
Situasi kuliah berjalan dengan normal. Bahkan lancar. Tiga orang dosen yang memberikan tugas kepada kelas untuk membentuk kelompok dilakukan dengan cepat. Tanpa intrik, tanpa ribut dan ribet. Pemilihan struktur kelas pun demikian. Mudah dan cepat dilakukan. Tidak ada tolak menolak, saat suasana berjalan dengan adem dan tenang.