Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Guru yang Sekolah Lagi

19 September 2018   13:47 Diperbarui: 19 September 2018   14:07 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: mafiatpb

Pekan kemarin saya menjalani sekolah lagi. Bersama 35 siswa lainnya dalam program magister (S-2) di sebuah universitas. Mayoritas sebagai siswanya sudah sepuh, terlihat dari raut wajah dan uban yang tidak bisa menyembunyikan usia. Beberapa diantaranya ada yang sudah kepala lima. Meskipun ada juga yang baru tiga hari lalu di wisuda Sarjana Pendidikan (S-1).

Mereka dari berbagai profesi. Rerata guru, baik honor maupun negeri (PNS). Ada yang kepala sekolah, ada wiraswasta, dosen, konsultan dan lainnya. Pada sesi perkenalan, diketahuilah motivasi mereka untuk kembali sekolah (kuliah).

Ada yang memang untuk sebagai syarat menjadi pimpinan sebuah lembaga pendidikan, ada yang ingin meneruskan pendidikan, dan ada yang ingin alih profesi.

Dari wiraswasta menjadi pengajar (dosen). Meski, ada juga yang menegaskan mengambil gelar magister pendidikan adalah karena ingin mendalami dunia pendidikan.

Sebuah apresiasi diberikan kepada Marthen, teman yang asalnya dari Ambon, saat ini juga mengajar di sekolah swasta di Bogor, bahwa dia kuliah lagi karena ingin menimba ilmu, supaya bisael membangun daerah Papua dengan pendidikan.

Sebelumya, katanya, dia pernah ke suatu daerah di Papua, menempuh jarak dengan berjalan kaki selama lima hari. Di sana, dia menemukan sekolah yang memprihatinkan.

Anak-anak jarang yang sekolah, jika sekolah pun dengan seragam yang apa adanya. Lebih sering tidak berseragam. Sementara, sekolah hanya punya beberapa guru saja. Itu pun kadang masuk kadang tidak.

Marthen ini kuliah jurusan Ilmu Tanah, setelah wisuda dia mengajar Fisika di sekolah. Rencananya, sesudah meraih gelar magister, dia akan pulang membangun daerahnya.

Ada satu mahasiswi yang bercadar. Satu-satunya. Oleh dosen, dia diminta untuk tidak kaget, jika sewaktu sidang tesis, diminta untuk ke bagian tata usaha untuk melepaskan cadarnya.

Untuk validasi,  menunjukkan bahwa dia adalah benar orang yang sesuai kartu ujian atau administrasi lainnya. Ibu yang bercadar itu tidak keberatan. Dari anggukkan kepalanya, dia menunjukkan gestur setuju.

Situasi kuliah berjalan dengan normal. Bahkan lancar. Tiga orang dosen yang memberikan tugas kepada kelas untuk membentuk kelompok dilakukan dengan cepat. Tanpa intrik, tanpa ribut dan ribet. Pemilihan struktur kelas pun demikian. Mudah dan cepat dilakukan. Tidak ada tolak menolak, saat suasana berjalan dengan adem dan tenang.

Begitu pula saat kuliah berlangsung. Dosen sedikit menerangkan, seisi kelas dengan mudah mencernanya. Diberikan teori atau rumus, dengan cepat seisi ruangan memahami. Tidak usah diminta mencatat, mereka sudah dengan cekatan mencatat penjelasan atau catatan di whiteboard.

Tidak menunggu diminta, disuruh, atau dipaksa. Tidak ada mengobrol di belakang, apalagi bercanda berlebihan. Motivasi belajar terlihat tinggi. Murid menunggu guru di kelas. Bahkan sudah lengkap saat guru datang. Entah, mungkin karena pertemuan perdana.

Lalu saya berpikir, jika demikian yang juga terjadi di ruang kelas tempat saya dan teman-teman mengajar, alangkah bahagianya jadi guru. Karena realitas yang terjadi,  berbeda dibandingkan.

Saya kemudian ingat dengan kelas saya dan beberapa teman saya. Bukan siswa yang menunggu guru, tapi guru yang menunggu siswa.  Perlu diingatkan untuk duduk rapi, mengeluarkan buku, mencatat, atau tidak bersuara ribut hingga bercanda berlebihan. Terhadap materi, butuh usaha ekstra untuk menerangkan. Perlu dua atau tiga kali menerangkan, baru mereka paham. Atau, bahkan ada yang belum paham.

Antusiasme belajar mereka pun harus terus dimotivasi.

Tapi, di sini saya tak hendak menjelekkan siswa itu. Sebab kemudian sebuah kesadaran menyentakkan saya. Tentu ada sebabnya dua kondisi yang berbeda itu terjadi. Pada kelas saya, mereka adalah orang dewasa. Pemahamannya sudah matang. Maka, mereka pandai menempatkan diri. Bisa mengatur, tak perlu diatur. Otaknya sudah berkembang dengan 'sempurna', sudah melewati kuliah Sarjana, bahkan banyak yang jadi guru. Tentunya, materi kuliah bukan hal yang sulit untuk dipelajari, dikunyah-kunyah, dan dipahami.

Sementara, untuk siswa, mungkin bisa dibilang kebalikannya. Kedewasaan mereka belum sempurna utuh. Sehingga kesadarannya masih harus dipacu dan dipicu. Kognitifnya belum matang. Sehingga untuk memahami materi harus dilakukan penuh konsentrasi.

Tidak kalah pentingnya, sebagai guru kita harus sadar, bahwa beban jadi siswa tidak ringan. Dia harus mempelajari banyak mata pelajaran, tidak seperti kita. Tentunya banyak pula informasi yang harus dicerna. Sehingga, tidak mudah pula mencernanya, butuh waktu dan tenaga ekstra.

Guru yang memahami kondisi ini, semoga tidak terlalu memaksakan, jika ada siswa yang kurang menunjukkan hasil yang tidak sesuai keinginan kita. Sebab mereka dipaksa oleh kondisi, oleh kurikulum pendidikan kita yang memaksa demikian. Refleksinya, apa yang kita rasakan sewaktu kita jadi siswa, seperti itulah yang dirasakan siswa kita saat ini.

Guru yang Masih Belajar

Jadi guru bukan lantas berhenti belajar. Seperti itu pula yang kami rasakan saat itu. Kami harus belajar lagi. Belajar menghargai guru, belajar kesopanan, belajar saling menghormati, belajar sabar, dan banyak lagi pembelajaran lainnya.

Terhadap teman yang bercadar, kami belajar toleransi. Ada yang berbeda keyakinan, kami saling menghormati. Di kampus itu ada satu lift. Kami belajar mendahulukan orang yang membutuhkan, untuk menggunakan lift itu, terutama mendahulukan dosen yang memang mayoritas sudah sepuh. Kami belajar persatuan; Marthen yang dari timur itu ketua kelas kami.

Jika ada siswa kami atau siapa saja membaca tulisan ini, penulis berharap agar mereka tahu, bahwa kami yang sudah 'tua' ini pun masih haus ilmu. Masih bersemangat untuk belajar. Bahwa kemauan untuk sekolah lagi itu masih ada tidak dibatasi usia.

Oleh karena itu, semoga mereka meniru kami. Kalian yang masih muda jangan kalah semangat. Manfaatkan usia muda yang penuh tenaga dan semangat untuk belajar demi masa depan kalian yang lebih baik. Ingat, hasil tidak akan menghianati proses. Nikmati dan hayati semua proses itu dengan sabar. Proses itulah yang akan membentuk kita. Dengan usaha keras dibarengi do'a dan melaksanakan ajaran agama dengan lurus-lurus, kehidupan kita akan cerah di masa mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun