Begitu pula saat kuliah berlangsung. Dosen sedikit menerangkan, seisi kelas dengan mudah mencernanya. Diberikan teori atau rumus, dengan cepat seisi ruangan memahami. Tidak usah diminta mencatat, mereka sudah dengan cekatan mencatat penjelasan atau catatan di whiteboard.
Tidak menunggu diminta, disuruh, atau dipaksa. Tidak ada mengobrol di belakang, apalagi bercanda berlebihan. Motivasi belajar terlihat tinggi. Murid menunggu guru di kelas. Bahkan sudah lengkap saat guru datang. Entah, mungkin karena pertemuan perdana.
Lalu saya berpikir, jika demikian yang juga terjadi di ruang kelas tempat saya dan teman-teman mengajar, alangkah bahagianya jadi guru. Karena realitas yang terjadi, Â berbeda dibandingkan.
Saya kemudian ingat dengan kelas saya dan beberapa teman saya. Bukan siswa yang menunggu guru, tapi guru yang menunggu siswa. Â Perlu diingatkan untuk duduk rapi, mengeluarkan buku, mencatat, atau tidak bersuara ribut hingga bercanda berlebihan. Terhadap materi, butuh usaha ekstra untuk menerangkan. Perlu dua atau tiga kali menerangkan, baru mereka paham. Atau, bahkan ada yang belum paham.
Antusiasme belajar mereka pun harus terus dimotivasi.
Tapi, di sini saya tak hendak menjelekkan siswa itu. Sebab kemudian sebuah kesadaran menyentakkan saya. Tentu ada sebabnya dua kondisi yang berbeda itu terjadi. Pada kelas saya, mereka adalah orang dewasa. Pemahamannya sudah matang. Maka, mereka pandai menempatkan diri. Bisa mengatur, tak perlu diatur. Otaknya sudah berkembang dengan 'sempurna', sudah melewati kuliah Sarjana, bahkan banyak yang jadi guru. Tentunya, materi kuliah bukan hal yang sulit untuk dipelajari, dikunyah-kunyah, dan dipahami.
Sementara, untuk siswa, mungkin bisa dibilang kebalikannya. Kedewasaan mereka belum sempurna utuh. Sehingga kesadarannya masih harus dipacu dan dipicu. Kognitifnya belum matang. Sehingga untuk memahami materi harus dilakukan penuh konsentrasi.
Tidak kalah pentingnya, sebagai guru kita harus sadar, bahwa beban jadi siswa tidak ringan. Dia harus mempelajari banyak mata pelajaran, tidak seperti kita. Tentunya banyak pula informasi yang harus dicerna. Sehingga, tidak mudah pula mencernanya, butuh waktu dan tenaga ekstra.
Guru yang memahami kondisi ini, semoga tidak terlalu memaksakan, jika ada siswa yang kurang menunjukkan hasil yang tidak sesuai keinginan kita. Sebab mereka dipaksa oleh kondisi, oleh kurikulum pendidikan kita yang memaksa demikian. Refleksinya, apa yang kita rasakan sewaktu kita jadi siswa, seperti itulah yang dirasakan siswa kita saat ini.
Guru yang Masih Belajar
Jadi guru bukan lantas berhenti belajar. Seperti itu pula yang kami rasakan saat itu. Kami harus belajar lagi. Belajar menghargai guru, belajar kesopanan, belajar saling menghormati, belajar sabar, dan banyak lagi pembelajaran lainnya.