Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Metafora Jenderal Kardus

23 Agustus 2018   08:35 Diperbarui: 23 Agustus 2018   08:47 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemilihan presiden (pilpres)  2014 lalu menyisakan istilah kecebong dan kampret yang tetap viral hingga pilpres selanjutnya di 2019. Belum sampai di tahun tersebut, sudah muncul istilah negatif atau miring yaitu jenderal kardus. Istilah ini digulirkan oleh politisi partai Demokrat Andi Arief lantaran kecewa dengan sikap Prabowo yang dianggap inkonsisten. 

Kiasan jenderal kardus menanglah terasa merendahkan. Ini tidak lain karena sifat kardus yang dianggap kurang berkualitas. Kardus, biasanya dipakai untuk pembungkus. Wadah mi instan,  jajanan, atau makanan. Daya kekuatannya kurang. Lembek jika kena air. Kalau sudah begitu, tidak bisa dipakai lagi. Mungkin segera dibuang. Dan jika diambil oleh pemulung, harga jualnya tidak seberapa.Tidak (kurang) berharga.

Namun, setelah mengeluarkan sindiran itu, ternyata Demokrat merapat ke kubu Prabowo. Agaknya Andi Arief perlu meralat ucapannya. Atau,  perlu memoles Jenderal Kardus supaya bisa terlihat lebih ciamik dan cantik sehingga punya harga yang lebih mahal.

Dalam dunia politik, sindiran Andi Arief tersebut masih tergolong 'ringan'.  Ada yang lebih berat. Dunia politik itu ringan sekaligus kejam. Ringan, sebab siapa saja bisa dan biasa ngomong tentang politik, meskipun sekadar sebagai komentator atau pemerhati politik, walaupun tidak profesional. 

Dunia politik bisa dikatakan kejam sebab penuh dengan intrik. Menjadi politisi, siap-siap dengan kritik, caci-maki, hujatan, atau fitnah. Misalnya presiden Jokowi kerap difitnah keturunan PKI oleh pendukung Prabowo. Sebaliknya, Prabowo difitnah sebagai pelanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Kejamnya lagi,  fitnah-fitnah itu juga hanya memberikan efek pada keluarganya. Anak atau isteri yang tidak ada sangkut pautnya pun kena imbasnya. Melebar kemana-mana. Sanak saudara pun bisa juga terkena. Mereka pun dihukum oleh publik. Politisi yang bersalah (jika pun benar), keluarga yang dihukum. Hukumannya merembet kemana-mana.

Berjihad Politik Santun

Diyakini,  pilpres 2019 akan tetap panas. Peran black campaign akan tetap ada, seperti pilpres yang lalu. Dan sepertinya akan begitu. Tidak menunggu lama, usai deklarasi wakil presiden yang dipilih oleh kubu Jokowi atau Prabowo, dalam hitungan menit saja sudah ramai sosial media saling ungkap dan saling unggah kekurangan wakil presiden lawan. Juga fitnah-fitnah sebagai bumbunya. 

Saya katakan fitnah,  karena itu belum terbukti dan belum teruji. Misal, KH Ma'ruf Amin dikatakan tidak mengukur diri, sudah tua kok mau-maunya dijadikan alat untuk meraup dukungan dari kalangan umat islam atau santri, atau Sandiaga Uno yang dijadikan calon wakil presiden karena mahar 500 miliar.

Fitnah-fitnah itu diumpankan dengan tujuan melemahkan dan mengalahkan lawan,  meskipun dengan cara curang. Banyak orang yang termakan dengan umpan itu.  Sosial media punya pengaruh besar memperbesar perseteruan itu. Dalam grup Whatsapp,  Facebook,  Twitter dan lainnya sudah panas saja debat kusir. Saling menggunggulkan sekutu, saling menjatuhkan seteru. Padahal pilpres masih cukup jauh. Tapi panasnya sudah mulai sekarang. Maka, kita akan capek di pilpres mendatang jika terus berseteru. Lebih panas sosial media ketimbang panas matahari.

Belajar dari pilpres sebelumnya, menghadapi pilpres mendatang, agaknya kita perlu berjihad,  menciptakan politik yang santun dan elegan.  Kenapa saya katakan jihad? Jihad secara bahasa artinya bersungguh-sungguh, berupa sekuat tenaga dan serius mewujudkan kebaikan. Tidak cukup dengan niat (biasa)  saja. Sebab  kadang niat saja tidak cukup. Pasti akan ada godaan dan hambatan. 

Dengan niat berjihad, pasti sudah menyiapkan kesabaran dan kesungguhan dengan kadar yang 'lebih' dari sekadar saja. Sebab kadang godaan melakukan black campaign itu begitu besar. Kadang teman atau sahabat hingga orang yang kita hormati,  melakukannya.  Lalu, dengan  alasan orang yang lebih 'pintar' melakukannya, membuat kita turut mengamininya. 

Kurangi debat kusir yang tiada ujungnya tiada pemenangnya. Hidup kita bukan melulu politik. ada banyak pekerjaan lain yang mesti kita selesaikan pula. Pahamilah bahwa seorang calon presiden adalah seorang manusia yang pasti memiliki kekurangan. Jika masing-masing sudah memiliki pandangan dan pilihan politik, sepertinya tidak perlu saling mempengaruhi. Jelas itu perbuatan yang mubazir. 

Kata meme yang viral,  dua perbuatan yang sia-sia yaitu memberi nasihat kepada orang yang jatuh cinta dan pendukung calon presiden. Orang yang jatuh cinta, segalanya terasa indah, dan semua tentang yang dicintainya selalu benar.  Begitu pula pendukung capres, apa pun yang dilakukan capresnya selalu benar.   Semua kemungkinan tertutup sudah dengan fanatisme.

Berpolitiklah dengan santun. Tidak perlu menjelek-jelekkan yang lain. Tidak usah saling menjatuhkan. Hindari perbuatan curang yang melegalkan segala cara supaya menang. Seperti kata Abdullah Gymnastiar,  politik itu hendaknya seperti perlombaan, bukan pertandingan. Keduanya berbeda. 

Dalam perlombaan, masing-masing peserta berupaya menang dengan  mengeluarkan kemampuan maksimal, tanpa mengalahkan lawan.  Namun, dalam pertandingan, semua peserta saling menjatuhkan atau mengalahkan lawan untuk menang. Seperti kata ungkapan,  Majulah tanpa menyingkirkan yang lain.  Naiklah tinggi tanpa menjatuhkan orang lain. Berbahagialah tanpa menyakiti orang lain. Fokus pada kelebihan dukungan kita, dan biarkan kelemahan lawan.

Akhir kata, walaupun sedikit pesimis, mari tetap berharap, semoga pilpres mendatang lebih sejuk dan santun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun