." Pada akhirnya persoalan hidup adalah persoalan menunda mati, biarpun orang-orang yang bijaksana lebih suka mati sekali daripada berkali-kali."
~ Pram dalam "Rumah Kaca" hal 595.
Akhirnya selesai juga menamatkan Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer. Buku keempat yang diberi judul "Rumah Kaca" memang agak berbeda dari buku ketiga sebelumnya yang mengambil tokoh Raden Mas Minke sebagai pusat cerita.
Buku yang keempat ini melihat dari sosok Jacques Pangemanann, dengan dua n. Seorang agen intelejen dari kepolisian Hindia Belanda. Seorang peranakan Menado yang berpendidikan di Sorbonne, Perancis.
Membaca buku ini jadi sedikit banyak mempunyai sebuah gambaran tentang bagaimana sebuah peristiwa dapat direkayasa untuk tetap melanggengkan sebuah kekuasaan, bahkan dengan mengurbankan seseorang atau pun banyak orang. Lewat jaringan intelejen dan membaca tulisan2 baik di koran maupun majalah yang ada, Sang Agen Polisi bisa membikin skenario jahat dengan bekerja sama dengan penjahat maupun maling untuk mengelabui masyarakat dan memberi kesan bersih pada pihaknya. Sebuah strategi cuci tangan yang biasa terjadi, bahkan mungkin hingga saat ini.
Memang benar bahwa untuk mengetahui karakter seseorang yang sebenarnya berilah dia kekuasaan. Maka disitulah kita semua bisa menilai sejauh mana karakter orang tersebut sesungguhnya.
Seperti halnya Pangemanann dalam roman ini, digambarkan oleh Pram dengan apiknya. Bagaimana prinsip hidup yang dipelajarinya dan pernah akrab didengarnya saat di Perancis dengan Peristiwa Revolusinya yang heroik tentang Keadilan, Kesamaan dan Kebebasan itu dikangkanginya sendiri ketika dia naik pangkat dari seorang Komisioner Polisi lalu menjadi pejabat di Algemeene Secretarie sebagai pejabat ahli di bidang pribumi yang memberikan pandangan dan usulan tentang bagaimana bersikap terhadap siapa yang merongrong kekuasaan Gubernur Jendral di Hindia Belanda.
Dalam buku keempat ini akhir yang tragis dari sosok Minke  sebagai pembaharu bangsanya yang masih dalam wujud benih itu mesti mati tanpa sebuah upacara yang pantas sebagai seorang pelopor  massa untuk kebangkitan berpikir dan membuka wawasan kebangsaan lewat koran " Medan Priyayi " yang dikelolanya, yang kemudian dilanjutkan dengan perhimpunan organisasi massa dalam Syarikat Islamnya.
" Betapa bedanya bangsa-bangsa Hindia ini dari bangsa Eropa, terutama Perancis. Di Perancis setiap orang yang memberikan sesuatu yang baru pada umat manusia dengan sendirinya mendapat tempat yang selayaknya di dunia dan di dalam sejarahnya. Di Hindia, pada bangsa-bangsa Hindia, nampaknya setiap orang takut tak mendapatkan tempat dan berebutan untuk menguasainya." (hal: 602).
Â
Di sini Pram menggugat tentang cara berpikir bangsa Jawa saat itu yang masih kolot dan feodal yang digambarkannya lewat sosok Raden Mas Minke,
" Seorang Jawa yang telah membuang Javanismenya tidak bisa lain artinya daripada orang yang mengenal akan dunia ilusi Jawa itu dan mendepaknya. Ia lebih suka menghadapi dunia sebagaimana adanya dan menerimanya dan menggarap sebagaimana adanya. Dan seorang Jawa yang bukan Javanis tidak lain daripada seorang revolusioner pada masa hidupnya sekarang ini."
Â
Tradisi yang lalu yang tidak mendukung kemajuan memang harus ditinggalkan. Sikap hidup feodal yang sudah ketinggalan zaman mesti di buang jauh-jauh. Dan membuang cara berpikir lama itu bukanlah hal mudah juga.
Dan pencapaian-pencapaian tertinggi soal kehidupan manusia Jawa itu tentang "Raja Kaya" serta " Raja Brana" mesti di setting ulang. Apakah benar hal tersebut membawa dalam kebahagiaan sejati? Pangkat, jabatan, kekayaan, ketenaran dan penghormatan itu apakah sudah merupakan puncak pencapaian manusia dengan pemakaian otaknya yang maksimal atau biasa dikenal dengan istilah "mindfulness". Apakah ada yang melebihi itu. Menarik juga bila kita menyimak sebuah video dari You Tube dari seorang Jawa kelahiran Solo yang menyoal tentang hal iniÂ
Â
Jangan sampai apa yang telah dicapai Pangemanan dengan dua n menjadi sebuah kenyataan yang ada di masa tuanya,
" Betapa sunyinya hidup di hari tua, tahu tiada orang yang membutuhkannya." (hal: 619)
Â
Kehilangan prinsip hidup adalah sebuah kehilangan yang menyakitkan. Peluklah prinsip hidup yang selaras dengan alam meski untuk itu nyawa harus meninggalkan badan,
" Kau tidur dengan damai di sini, guru! Betapa sederhananya mati. Dan semua akan bertemu dalam kedamaian dalam alam mati, tidak peduli raja, tidak peduli budaknya, tidak peduli algojo, dan tidak peduli kurban-kurbannya." (hal: 615).
Â
Meskipun bukan "happy ending" namun roman Buru ini memang layak dibaca untuk memperkaya pengetahuan sejarah kita dalam sisi pandang yang berbeda, khususnya lewat penglihatan Pram saat itu.
Â
Rahayu....
Bukit Pelangi, 25 April 2017
[caption caption="Buku keempat Tetralogi Buru Pramoedya Ananta Toer"][/caption]
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H