Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Resensi Buku: Panggil Aku Kartini Saja

14 Agustus 2016   19:25 Diperbarui: 15 Agustus 2016   01:40 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Memang ini pekerjaan rumit; tapi barangsiapa tidak berani, dia tidak bakal menang; itulah semboyanku! Maju! Semua harus dilakukan dan dimulai dengan berani! Pemberani- pemberani memenangkan tiga perempat dunia!"~ R.A. Kartini

Siapa tidak kenal Kartini, yang hari lahirnya pada 21 April diperingati setiap tahun itu? Kartini yang dilihat sebagi simbol emansipasi wanita di zaman ini. Namun siapa yang benar-benar memahami Kartini yang dianggap "Putri Sejati" beserta pemikiran-pemikirannya bagi kepentingan Rakyat yang saat itu masih lekat dengan feodalisme dan kolonialisme?

Membaca buku "Panggil Aku Kartini Saja" karya Pramoedya ini akan membuka wawasan kita tentang siapa Kartini beserta pemikiran-pemikirannya. Pram tidak sekedar menulis, namun beliau juga melakukan riset, melakukan penelitian tentang hal-hal yang terkait erat dengan Kartini. Bagi Pram, menulis adalah tugas pribadi dan nasional.

Lewat buku ini, Pram ingin mengajak kita semuanya, para pecinta emansipasi wanita untuk melihat Kartini dari dekat. Melihat Kartini secara lugas dan terbuka dari kutipan-kutipan surat-surat beliau kepada sahabat penanya seperti Estella Zeehandelaar (seorang sosialis keturunan Yahudi Belanda) , Mr.J.H Abendanon dan E.C Abendanon (Suami istri Belanda yang bertugas di Jepara), Nyonya M.C.E. Ovink Soer, Dr. N. Andriani, Tuan dan Nyonya Prof. Dr.G.K. Anton di Jena (Jerman), Dan Tuan dan Nyonya Van Kol.

Pemikiran-pemikiran Kartini

Ketika perempuan dihadapkan dengan adat dan feodalisme yang kolot, kebanyakan mereka menyerah dan menghamba demi kenyamanan dan kedamaian diri. Berbeda sekali dengan Kartini yang tidak bisa tawakal menghadapi kondisi saat itu. Perkenalan dengan pendidikan Barat lewat sekolah rendah dalam bahasa Belanda itu telah membawanya pada sebuah cita-cita besar walau untuk itu beliau harus bergulat dalam batinnya antara cintanya terhadap ayahandanya atau terhadap cintanya pada cita-citanya,

"Ayahku begitu cintanya kepadaku! Aku akan sangat berdukacita sekiranya Ayah menentang cita-cita kebebasanku, tapi akan lebih bersedih hati lagi, pabila hasrat paling menyala itu terpenuhi, tapi dalam pada itu kehilangan cinta Ayahku.Ah tidak, aku tak akan kehilangan cintanya, tapi aku dapat menyebabkan hatinya luka..."

Dan ketika mengikuti adat feodal pribumi yang tidak bisa dilepaskan oleh ayahnya, maka umur 12 tahun Kartini harus memasuki pingitan. Kehidupan dalam pingitan bagi perempuan Kartini adalah sebuah penjara, seperti sebuah kurungan,

"Betapapun indah dan bagus serta penuh kemewahan kurungan itu, bagi si burung yang terkurung didalamnya, dia tetaplah kurungan!"

Dalam keadaan seperti itu, Kartini menenggelamkan diri dalam dunia ide, gagasan lewat buku-buku yang dibacanya serta korespondensi dengan para sahabat penanya. 

Lewat buku bacaan seperti Hylda van Suylenburg karya Nyonya Goekoop, Moderne Maagden karya Marcel Prevost, De Vrouw en Sosialisme karya Augusta Bibel juga biografi Pandita Ramabai, seorang tokoh emansipasi wanita terkenal dari India telah banyak mempengaruhi jalan pikirannya soal sosialisme dan emansipasi perempuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun