Mohon tunggu...
Sunu Purnama
Sunu Purnama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pria sederhana yang mencintai dunia sastra kehidupan.

mengapresiasi dunia...lewat rangkaian kata...^^

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Arus Balik Pemikiran Pram

22 Desember 2014   11:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:44 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Arus Balik Pemikiran Pram
" Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan."
~ Pramudya Ananta Toer
Sudah lama sekali saya ingin membaca buku-buku karya Pram, yang di era Orde Baru saat pemerintahan mendiang Presiden Soeharto, karya-karya beliau dilarang terbit. Ada sebentuk ketakutan dari Orde itu tentang pemikiran-pemikiran Pram yang dianggap berseberangan dan membuat gerah penguasa saat itu.
Selama bulan Desember ini, saya telah membaca buku Pram yang berjudul "Arus Balik". Sebuah Epos sejarah tentang kejayaan Maritim Majapahit yang mulai runtuh digantikan kekuatan darat dari Kerajaan Demak bersama arus perubahaan budaya dan agamanya yang disajikan dalam bentuk novel sejarah yang terdiri dari 760 Halaman.
Peraih Penghargaan Magsaysay 1995 ini, bersama Moriko Hiramatsu (dari Jepang, untuk Pelayanan Pemerintahan), Asma Jahangir (dari Pakistan, untuk Pelayanan Umum) dan Ho Ming The (dari Taiwan, untuk Kepemimpinan Masyarakat) memang pantas disebut pengarang yang mumpuni.
Dengan gaya bahasa dan kemampuan imajinasinya yang hidup mampu menggerakkan tokoh-tokoh di dalam ceritanya menjadi sedemikian hidup dan sejarah menjadi begitu enak dipahami dan dipelajari.
Tidak heran bahwa Pram dianggap mampu,
" Menerangi dengan kisah2 cemerlang kebangkitan historis dan pengalaman modern Indonesia."
Pesan - pesan Pram
Pram meminjam mulut tokoh-tokohnya untuk mengutarakan pemikirannya, salah satunya bernama Rama Cluring untuk menyampaikan pesan-pesannya :

" Sayang kau tak berani muncul! Kau, orang muda, sama halnya dengan perempuan pemalas yang merasa lebih beruntung jadi selir atau gundik di bandar-bandar daripada mendampingi seorang suami di sawah dan ladang. Berbahagialah suami-istri yang sama-sama bekerja, maka haknya pun sama di hadapan para dewa dan manusia." (Hal:9)

Kegelisahannya akan kondisi perubahan telah digambarkannya dengan baik,
"Saluran yang dulu di bikin di mana-mana sekarang sudah mendangkal. Kapal besar tak lagi dapat masuk ke pedalaman. Tak lagi riam dan sangkrah dibersihkan oleh pasukan-pasukan laut. Tak lagi sungai-sungai di pelihara. Di jaman Majapahit para punggawa disebarkan ke seluruh negeri bukan untuk memata-matai kawula. Mereka bicara dengan bocah-bocah. Bila anak-anak itu tak dapat menjawab pertanyaan mereka, baik kepala desa maupun bapa-bapa mandala kena teguran. Dengan demikian bocah dapat membaca dan menulis, tahu akan dewa-dewa dan hafal akan banyak lontar." (Hal: 11)

Ketika perubahan dilihatnya sebagai sebuah tanda,
"Kemerosotan jaman, jaman gila. Orang mulai tak dapat memilih apa yang baik untuk dirinya. Tak heran, di mana mandala tidak berdaya, orang tua tak tahu sesuatu kecuali
kesenangannya sendiri..."(Hal:11)

Dan ketika seni dan budaya menjadi sebuah hal yang indah, namun pada akhirnya...
"Tarian adalah keindahan gerak yang diajarkan oleh dewa kepada manusia. Dan bunga yang terhias pada tubuh penari adalah wadah tempat para dewa menurunkan berkahnya." (Hal :85)
"Kata orang Gusti Adipati Tuban merasa segan terhadap putranya, Raden Said, yang sudah jadi pandita besar Islam, jadi guru pembicara dimana-mana, jadi Ulama,kata orang. Dan batu berukir dalam peraturan Islam,katanya barang-barang jahat." (Hal:52)

Gambaran Cinta Yang Tulus
Mengambil tokoh desa yang bernama Galeng yang cinta kepada teman sedesanya yang jago menari bernama Idayu, Pram membeberkan sebuah gerak cinta kasih yang mampu menahan terpaan angin topan dan lindu yang datang bersama hujan deras kehidupan,
"Dan rakyat Tuban sejak dahulu juga memuja cinta yang berpribadi, disemerbaki kesetiaan dan ketabahan menghadapi hidup dan mati. Mereka bersorak-sorai untuk kemenangan cinta. Udara menggeletar seakan tiada akan habis-habisnya." (Hal: 91)

"Nah,nak. Begitu seyogyanya jadi wanita. Jadilah wanita utama seperti Idayu. Untuk cintanya dia berani hadapi segala, termasuk orang yang paling berkuasa di bumi Tuban. Ketahuilah, tanpa cinta hidup adalah sunyi, karena raga telah mati dan dunia tinggal jadi padang pasir. Bukankah itu kata-kata dalam mazmur sendiri." (Hal:94)
Dan politik kekuasaan selalu tampil membawa jargon-jargon kebaikan yang paling manis untuk mengelabui, dan untuk itu rakyat mesti membayar mahal untuk harga sebuah konspirasi,

" Tetapi Tuban tak bisa menjadi besar dan berdikari selama Majapahit yang sakit-sakitan itu masih ada. Ia mulai bersekongkol dengan pedagang-pedagang Islam. Ialah yang memberikan ijin pada Syekh Maulana Malik Ibrahim untuk memberikan perkampungan dan pengajaran Islam di pelabuhan utara Majapahit, Gresik. Ialah yang membentuk persekutuan dengan gubernur-gubernur pelabuhan untuk semakin mengeratkan hubungan dengan saudara-saudara Islam sambil sedikit demi sedikit menunggangi Majapahit. " (Hal: 104)

" Dari keturunan ke keturunan, dari penguasa yg satu pada penguasa yang lain menggantikan, sampai pada dirinya, abadilah peringatan itu: waspadalah kau raja, begitu kau injak bendul keputrian, di dalamnya musuh dan lawan, penjilat dan peracun, pengkhianat dan perakus, sedang sibuk memasang jebak. Dan pusat jebakan selalu selir kesayangan.

"Awaslah jangan terlena, karena lena adalah binasa." (Hal: 115)
Mengurbankan rakyat kecil adalah hal biasa, wajar bagi seorang penguasa yang telah begitu lena oleh nikmatnya kursi empuk kekuasaan, hangatnya tubuh mulus perempuan dan nyamannya harta yang melimpah.
Wiranggaleng, Sang Senopati Tuban

" Semua dimulai dengan cipta, kata Rama Cluring. Semua itu, tak bakal ada tanpa cipta. Dan puji-pujian sebentar tadi mungkin pertanda ada daya cipta di dalam jiwanya. Apakah cipta? Guru-gurunya dulu belum pernah ada mengajarkan. Ia tak tahu. Ia berusaha meyakinkan diri, ia mengerti apa yang dikehendaki Sang Adipati dan Sang Patih atas dirinya: kepatuhan pada perintah dan menjalankan dengan sebaik-baiknya tanpa mengindahkan soal-soal selebihnya. Dan inilah rupa-rupa jalan untuk memanggil kembali kebesaran dan kejayaan masa silam. Bukankah tidak lain dari Sang Adipati sendiri yang mengatakan: tak ada kebesaran dan kejayaan dapat dipanggil pada guagarba haridepan tanpa restu seorang raja? Benar. Semua Benar. Dan terpambang di hadapannya kini hari depan yang gilang gemilang itu: Tuban yang tiada tara, dengan Angkatan Lautnya yang menjelajahi semua samudra dan menguasai pulau-pulau...semua akan terjadi karena jasanya, jasa Wiranggaleng. Demak dan Jepara tidak bakal bisa menandingi Tuban. Mereka di barat sana tak tahu apa makna memanggil kembali kebesaran dan kejayaan Majapahit pada guagarba haridepan. Mereka tak tahu. (Hal:182)

Seorang desa yang dipaksa oleh keadaan, dan terobsesi dengan ajaran-ajaran guru tentang sebuah makna memanggil kembali kejayaan Nusantara,

" Ia jawab pandang mata bawahannya dengan senyum ramah. Ia dekati mereka dan dengarkan kata-kata mereka dengan perhatian. Ia tanyai mereka yang murung. Ia ajak bicara mereka yang nampak termenung-menung mengenangkan yang tertinggal di rumah.Ia berusaha menjadi sahabat untuk semua mereka,seorang sahabat yang memperhatikan." (Hal: 185)
" Dari penungguan pada jatuhnya hukuman jadi pengimpi kebesaran untuk Tuban merupakan riwayat pergolakan jiwa yang panjang dalam waktu yang sangat pendek. Dua-duanya terus juga jalin-menjalin, pilin-berpilin dalam hatinya. Ia selalu berusaha berada dalam keadaan was-was dan waspada." (Hal:186)
Namun memanggil kejayaan masa lalu tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, benturan pemahaman mulai muncul,

" Penduduk yang masih mengukuhi kepercayaan lama mengagumi kepintaran mereka dan dengan diam-diam menghormati dewa mereka. Tetapi ada juga segolongan kecil yang merasa jengkel terhadap kejayaan mereka. Penggolongan-penggolongan mulai terjadi di antara penduduk Tuban: yang membenci Sang Adipati dan yang membenci kejayaan golongan Islam. Pertentangan-pertentangan lunak kadang terjadi. Lama-kelamaan yang lunak jadi keras, yang kadang menjadi sering, dari mulut jadi gontok, dari gontok jadi bentrokan antar golongan. (Hal: 215)

Dan ketika ajaran dari Atas Angin yang di bawa oleh pedagang Arab telah merasuki masyarakat, maka timbul perselisihan yang tak bisa dihindari,
" Di sini, Tuan, petani yang sebodoh-bodohnya tak akan menganiaya bininya kecuali dia memang sudah gila. Jangan bicara dulu. Di sini, Tuan, seorang istri bukan hanya dianggap istri, juga sebagai ibunya sendiri, dihormati dan didudukkan di tempat yang dimuliakan. Hanya orang gila menganiayanya. Sebaliknya seorang istri Tuan, mengganggap suaminya bukan hanya sebagai suami saja, juga sebagai gurunya dan sebagai dewanya sekaligus. Tuan orang asing disini. Sahaya sampaikan ini agar Tuan mengerti, karena semua itu mungkin tak ada dalam ajaran Tuan." (Hal: 317)

Kebudayaan Jawa menjadi tumpul dan kehilangan perbawanya,
" Darah ningrat Jawa sudah kehilangan kekuatannya. Hati dan keberaniannya sudah habis di dalam keputrian." (Hal : 349)
Pergolakan Batin Sang Adipati Tuban, membawanya pada permenungan tentang ajaran leluhur tinggalan Majapahit,
" Terhadap keamanan jiwanya pribadi ia tak pernah punya was-was. Leluhurnya, dari penguasa yang satu pada penguasa yang lain telah membangunkan sikap batin satria: hanya ada satu macam maut dengan tiga nilai, tak kurang dan tidak lebih. Nilai pertama dan terpuji adalah maut karena lanjut usia. Nilai kedua yang patut adalah karena kehormatan sebagai satria, di medan perang dan di mana saja. Nilai ketiga yang dianggapnya hina adalah karena hukuman dan tidak dengan keris. Dan seorang satria hanya dapat mengambil dua nilai yang sebelumnya terakhir. Setiap saat ia bersedia mati karena usia maupun karena kehormatan. Ia tak pernah punya keraguan." (Hal: 355)
Masuknya Arus Budaya Islam
" Bagi Trenggono sendiri kemenangan atas Tuban menjadi petaruh untuk gerakan militer selanjutnya. Dari Tubanlah seluruh Jawa Timur akan dikuasai. Dari sini akan ditumpas Blambangan sebagaimana halnya dari Sunda Kelapa akan ditumpas Pajajaran. Dan dengan tumpasnya dua kerajaan Hindu tersebut seluruh Jawa akan menjadi Islam atas namanya. Dan Islam, menurut Fatahillah yang kemudian juga jadi pegangannya, menjamin kebebasan Jawa dari Peranggi." (Hal: 572)
Demikianlah, Demak sebagai kerajaan Islam melakukan propaganda dan penyebaran ajaran Islam lewat para musafir-musafir yang dikirim ke daerah-daerah, ke kampung-kampung di seluruh pelosok Nusantara untuk mengIslamkan mereka yang dianggap Kafir,
" Ia ulurkan tangan untuk dicium Gelar, tetapi bocah itu tak mengenal adat itu. Gelar mengangkat sembah dada.
Kekafiran, kemudian ia berjalan kaki keluar dari hutan." masih berkuasa atas mereka, keluhnya"(Hal:596)
Kegagalan Anak Desa
Ketika Nusantara yang terdiri dari lautan luas menjadi kehilangan kendali atas kapal dan pelayarannya sebaiknya kita menengok sebuah ajaran dari Ibu dari Adipati Unus,
" Bukan hanya tanah, seluruh alam diserahkan oleh Allah pada manusia. Kalau orang tak tahu artinya alam, inilah dia: semua-semua saja kecuali Allah sendiri. Tanah ini, Jawa ini, kecil, lautnya besar. Barangsiapa kehilangan air, dia kehilangan darat, barang siapa kehilangan laut dia kehilangan darat. Jangan lupa, Unus yang mengatakan itu,"kat Gusti Ratu Aisah. (Hal: 469)
Dan ternyata penyatuan Nusantara belum membuahkan hasil yang bagus,
Bagi seorang Wiranggaleng, obsesinya memanggil kejayaan masa lalu masih jauh,
" Aku sedar tak ada kemampuan membendung arus utara, arus balik yang semakin besar juga ini. Maka akulah orang yang paling menderita karena kesedaran ini. Jaman bukan hanya tak membantu,bahkan melawan kita. Itu sebabnya akan kutinggalkan pada kalian, dan semua kuserahkan pada kalian." (Hal: 749)
Dan Rama Cluring yang meninggal karena di racun itu masih menggaungkan pesannya, pesan kebajikan yang telah disampaikannya sebagai dharmanya sebagai seorang guru pembicara,
"Kalian datang padaku untuk apa? Untuk mendengarkan aku. Pekerjaanku memang bicara. Seorang diri aku berseru-seru : Jangan biarkan anak-anak kalian tenggelam dalam kemerosotan jaman. Bangkit: lawan kemerosotan. Lebih dua puluh tahun aku bicara. Tetapi orang masih juga tak mau mengerti." (Hal: 537)
" Berbahagialah kau yang bisa bersakit hati, pertanda masih ada hati, dan ada cinta di dalamnya. Tapi macam cinta apa kau kandung dalam hatimu? Cinta pada kebebalan adalah juga kebebalan." (Hal: 5)
" Mengapa kalian terdiam? Kerajaan besar telah runtuh, kerajaan-kerajaan kecil tumbuh di mana-mana. Seperti panu. Sekarang sudah ada kerajaan baru: Demak. Dewa-dewanya bukan dewa kalian, dan tidak mengenal dewa kalian. Hei, kalian yang suka jadi bebal, kelak kalau Demak mulai menyerang kalian, memburu dewa-dewa kalian, menghancurkan mandala dan candi-candi kalian, leluhur kalianpun tak aman lagi tinggal di khayangan, dan kalian sendiri didera mendaran dan meregangkan nyawa tak sempat diruwat oleh anak - cucu sendiri. Pada waktu itu aku telah lebih dahulu mati. Dan kalian takkan sempat lagi menyesal, takkan sempat lagi bilang padaku: Benar kata-katamu, Rama Cluring." (Hal:512)
Buku terbitan Hasta Mitra yang merupakan Cetakan ke V Maret tahun 2002 merupakan novel sejarah yang sungguh menarik. Menghidupkan kembali nostalgia akan kekuatan Maritim Nusantara.
Akankah arus arah angin itu kembali lagi?!
Bukit Pelangi,
Senin, 22 Desember 2014

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun