Mohon tunggu...
Sunu Gunarto
Sunu Gunarto Mohon Tunggu... -

Orang merdeka. Berjuang untuk bebas dari penjajahan oleh rasa was-was, cemas, takut, dengki, benci, sakit hati,iri, prasangka buruk kepada siapapun. Hobi membaca, menulis dan menelusuri jejak-jejak keheningan dalam diri. Usia setengah abad lebih. Tinggal di Jogja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Susahnya Menjelaskan Warna hijau, biru dan kuning pada anak SD kelas empat.

27 Februari 2011   09:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:14 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dialog ini terjadi di kelas ketika sang murid minta penjelasan tentang warna.  Dia kenal jenis-jenis warna ada hitam, merah, hijau, biru, kuning dan lainnya.

Pak Guru tertegun sejenak. Dicarinya akal untuk menjelaskan warna pada anak kelas empat SD itu.

"Kamu punya rambut ? Nah, rambutmu itu warna hitam. Jadi hitam sama dengan rambut"

"Kalau merah bagaimana pak ?"

"Coba kamu raba bibirmu. Bibir itu berwarna merah. Jadi merah sama dengan bibir.

Di luar kelas anak-anak pada gaduh. Ada yang main bola, ada yang main badminton, ada yang main lompat tali tambang. Pak guru keluar sejenak. Masuk ke kelas lagi dengan selembar daun yang dipetik dari pot bunga di depan kelas. Entah daun bunga apa namanya, lebarnya tak lebih dari telapak  tangan, bentuknya agak lonjong. "Nah, kalau hijau itu sama dengan daun ini" - pak guru menyodorkan  selembar daun pada muridnya. Wajah murid itu berbinar.  Senyumnya tersungging tipis.

Pak guru kerepotan ketika harus menerangkan warna biru. Dimainkannya penggaris plastik tiga puluh sentian yang dipegangnya. Kadang diputar, kadang diketok-ketokkan ke meja di depannya. Otaknya berputar mencari akal menerangkan warna biru. Pak guru tahu dunia ini penuh warna. Ada pelangi me-ji-ku-hi-bi-ni-u (merah-jingga--kuning-hijau-biru-nila-ungu). Bunga yang berwarna-warni, bentuknya juga beraneka ragam. Daun, buah, pohon, semuanya berwarna. Binatang juga beraneka warna. Setelah ada titik terang untuk menjelaskan, diajaknya murid itu ke luar, berdiri di halaman depan kelas.

"Kalau kamu merasa hangat di luar berarti di atas sana ada matahari, yang sinarnya langsung menerpa kulit kita. Di atas sana tidak ada awan yang menghalangi sinar matahari. Matahari berada  di langit, jauh ..... di atas sana. Langit itu sangat luas. Warnanya biru. Jadi biru sama dengan langit". Pak guru  mengambil napas sejenak. Terpaan sinar matahari terasa semakin hangat. Mereka berdua masih berdiri di halaman depan kelas.

Murid itu mengangguk. Rambutnya  yang menyentuh pundak berderai diterpa angin pagi. Silir dan lembut. Halaman yang tadi gaduh mulai senyap. Anak-anak sudah masuk ke kelas masing-masing. Sekolah itu di desa, jauh dari ibukota propinsi ( lebih dari 40 km ), sekitar 9 km dari kota kabupaten,  dan 3 km dari kota kecamatan. Jalan menuju ke sana sangat mulus, hanya 2 km jalan masuk desa yang lagi rusak. Didirikan oleh masyarakat setempat, pada awalnya sekolah itu sangat terseok. Hanya dengan beberapa orang murid (kurang dari sepuluh orang anak), dibimbing oleh  beberapa orang guru tanpa digaji, akhirnya sekolah itu berkembang dan bertahan sampai sekarang.  Muridnya ada sekitar 50 orang, dengan guru belasan orang yang sebagian besar sudah diangkat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil). Semuanya berkat kegigihan dan gotong-royong mayarakat.  sekolah itu sudah bertahan hampir 30 tahun.

"Kata  si bandel Didi  kalau aku pakai baju warna kuning tampak cantik. Kuning itu macam apa sih pak?' - murid itu berseloroh, memecah keheningan.

"Hem, ayo masuk ruang kelas dulu. Kelamaan di sini kamu bisa pingsan nanti".  Mereka bergegas masuk ruang kelas. Ruang kelas  itu sebenarnya cukup luas. Bisa menampung 35 orang anak bila ditata untuk ruang kelas biasa. Karena keterbatasan sarana saja ruang kelas itu disulap menjadi ruang perpustakaan, ruang belajar dan ruang UKS (unit kesehatan sekolah). Ruang kelas yang dipisahkan dari ruang perpustakaan dengan rak-rak buku, terdiri dari dua set meja kursi berjajar untuk murid dan selangkah di depannya satu set meja kursi untuk pak guru. Ruang UKS menyatu dengan ruang belajar, di ujung sana ada tempat tidur delengkapi kasur dan bantal.

Di ruang kelas itu pak guru duduk di kursi depan Heni, muridnya untuk melanjutkan pelajaran. Kursi sebelah Heni kosong karena Tini, teman Heni tidak masuk sekolah karena sakit.

"Sampai mana tadi ?" - pak guru mencoba mengingat pertanyaan Heni.

"Warna kuning pak"- Heni menyahut.

Pak guru terdiam. Disekanya wajah dan tangannya dengan saputangan yang di keluarkan dari kantong saku celana untuk mengeringkan keringat. Sementara Heni menunggu dengan sabar. Dengan tangan lentiknya Heni mengipas-ipaskan daun bunga pemberian pak guru tadi untuk mengusir gerah di ruang kelas itu. Belum sepatah katapun keluar dari pak guru. Rasanya berat sekali untuk mengeluarkan kata-kata. Ruangan jadi hening. Hanya desah nafas mereka berdua saja terdengar samar. Pelan-pelan air mata pak guru meleleh.

"Maafkan nduk, aku susah menjelaskan warna kuning kepadamu" - suara pak guru sedikit bergertar, kadang tersendat.  Karena kepekaan pendengaran saja Heni mengenal pak guru sedang menangis. Heni tercenung.

"Maaf kan pak, saya telah bikin bapak susah".

"Tidak, tidak. Aku senang mengajarimu apa saja semampuku. Hanya karena keterbatasanku kadang aku sedih, tidak bisa memberi sesuatu yang terbaik kepadmu. Aku tahu warna pelangi, warna daun, warna bunga, warna langit, warna binatang, warna rumah, warna jendela, semuanya indah. Dunia ini penuh warna. Aku pernah melihatnya. Karena kecelakaan petasan waktu remaja saja aku sekarang tidak bisa membedakan warna, seperti kamu. Kita sama-sama tuna netra" - suara pak guru datar.

"Iya pak, kita syukuri saja apa yang kita miliki sekarang. Barangkali Yang Maha Kuasa menciptakan indera pendengaran, perasaan dan penciuman kita melebihi dari pada orang normal" - sambut Heni, gadis tujuh belas tahun yang lagi tumbuh nanis, montok, yang karena keterbatasannya masih duduk di kelas empat SD.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun